Danau Dendam Tak Sudah

The Dam Yang tidak selesai, atau De Dam Tak Sudah, Danau Dendam Tak Sudah

60 sd 80% Sampah Rumah Tangga adalah Bahan Organik

Potensi masalah ketika tidak diolah, potensi pendapat keluarga ketika diolah, potensi nilai tambah ketika dilakukan Biokonversi Dikelola Secara Bijak

Urban Farming

Pemanfaat Lahan Masjid Jamik Al Huda sebagai terapi psikologis dan nilaitambah pendapatan keluarga

Urban Farming (Budidaya Lahan Sempat)

Memanfaatkan Lahan Sempit untuk menambah nilai manfaat lahan diperkotaan sekaligus sebagai eduwisata

Urban Farming Tanaman Hortikultura

Sayuran segar siap dikonsumsi kapan saja...

Senin, 09 Juni 2008

Dispenda Gate

Issu Sekitar Buka-Bukaan Dispenda Gate

Hari ini, Rabu, 4 Juni 2008, saya diundang ibu Zumratul Aini kerumah beliau, melalui telpon saya dihubungi bahwa akan ada pembicaraan soal persiapan Bapak Chairuddin untuk menghadapi sidang perkara Dispenda Gate, besok Kamis, 5 Juni 2008. Saya kemudian mendatangi kediaman beliau sekitar jam 09.00 Wib, Ibu Zumratul bercerita panjang lebar persoalan ini, dan berada pada kesimpulan bahwa Bapak Chairuddin, Ibu Zumratul dan Penasehat Hukum sepakat untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya yang terjadi, yaitu akan mengajukan bukti-bukti adanya keterlibatan pihak-pihak lain dalam menikmati dana Dispenda untuk kepentingan tertentu (mungkin secara pribadi).

Sekitar pukul sebelas, seorang anak buah Bapak Chairuddin yang loyal mengantar sebuah CD yang berisi photo-photo bukti adanya penyerahan uang kepada Bapak Nuim Hidayat yang merupakan Ajudan Gubernur Bengkulu, Agusrin Najamudin, yang berlangsung di salah satu Kantor BRI di Kramat Raya Jakarta. Disamping itu ada juga penyerahan uang kepada Bapak Husnul Fikri yang bersama seseorang yang tidak dikenal Pak Chairudin, di Hotel Darmawangsa Jakarta, dimana uang tersebut sebelumnya dicairkan dengan menggunakan 8 lembar Check senilai 3,5 M di Bank BRI Cabang Sudirman. Dalam CD juga ada photo-photo proyek-proyek yang disebut-sebut juga di danai dari dana DBH PBB dan BPHTB senilai 21.3 M.

Dirumah beliau saya juga ditunjukkan bukti-bukti adanya upaya pemanfaatan dana tersebut oleh atasan beliau dengan modus, seolah-olah ada permintaan dari Dinas PU sebesar 8 M untuk pembelian alat berat yang mendesak, dan ada juga permintaan dana sebesar 6 M dari Balitbang untuk pengadaan bibit jarak. Permintaan kedua dinas tersebut kemudian didisposisi oleh Bapak Agusrin Najamudin kepada Bapak Chairuddin sebagai Kadispenda untuk mencarikan solusinya atau dalam artian untuk menyediakan dananya. Dan oleh Kadispenda dana itu diambil dari dana DBH PBB dan BPHTB. Atas permintaan Agusrin dana itu diminta untuk tidak dicairkan di Bengkulu (Diduga ada kekhawatiran terdeteksinya penggunaan anggaran ini, yaa diduga mirip-mirip money loundry…lah), sehingga dana tersebut akhirnya dicairkan beberapa tahap di BRI Kramat Raya dan BRI Sudirman. Dana tersebut diserahkan kepada orang kepercayaan Agusrin (dari beberapa kali penjelasan pribadi Bapak Chairuddin dana tersebut bukan untuk proyek pengadaan alat berat dan bibit jarak tetapi kepentingan pribadi Gubernur).

Ada sesorang karyawan di Dispenda yang tahu rencana penyerahan uang tersebut, mengingatkan kepada Bapak Chairudin jika penggunaan dana ini beresiko, karyawan tersebut akhirnya membelikan sebuah kamera digital kecil, untuk membuat dokumen setiap penyerah uang dan memotret nomor check yang digunakan untuk pencairan dana tersebut.

Penasehat Hukum dan Ibu Zumratul sudah sepakat apapun yang terjadi kasus ini harus terungkap dengan jelas, karena Bapak Chairuddin hanya melaksanakan perintah tugas atasan, dimana kondisi beliau sebagai sub ordinat dari sebuah kekuasaan. Dari pembicaraan juga terungkap selama Bapak Chairuddin ditahan, tidak pernah sekalipun Gubernur mengunjungi Bapak Chairuddin di Lapas, seolah-olah tidak pernah tahu dengan apa yang terjadi. Padalah sejak dari awal pembukaan rekening pengalihan dana DBH PBB dan BPHTB atas persetujuan dan surat permohonan pembukaan rekening yang ditujukan kepada menteri keuangan Benar-Benar Atas Persetujuan dan telah dijelaskan skemanya secara detail yang merupakan hasil pembicaraan antara Bapak Gubernur dan Kadispenda, dan yang paling penting bukti fisiknya Surat itu ditandatangani oleh Bapak Gubernur Agusri Najamudin. Dengan kata lain, jika hal ini adalah kesalahan maka yang bertanggung jawab adalah Gubernur, Bapak Chairuddin hanya bawahan yang sub ordinat yang menjalankan tugas, sebab jika hal ini tidak disetujui tidak akan mungkin dan tidak akan pernah ada pembukaan rekening tersebut.

Selepas Zuhur saya diajak oleh Ibu Zumratul untuk mengunjungi Bapak Chairuddin di Lapas. Di Lapas saya mendengar betapa sesungguhnya ada keinginan kuat dari Pribadi Bapak Chairuddin untuk mengungkapkan semuannya apa yang ia ketahui tentang kasus Dispenda Gate. Bahkan pada saat pertemuan itu, Bapak Chairuddin juga menyatakan akan mengukapkan adanya aliran dana menjelang pengesahan Perda Multi Years di DPRD sebesar Rp. 280 juta. Dana tersebut dicairkan kepada Ir. Winarkus, M.Si sebesar Rp. 150 juta dan kepada Drs. Hamsir Lair sebesar Rp. 100 juta dan Rp. 30 Juta (dalam dua tahap, ada bukti kwitansi yang ditunjukkan), dan dari penjelasan beliau terungkap bahwa pencairan dana tersebut juga atas perintah Gubernur dan digunakan untuk kepentingan menggolkan Perda Multi Years yang sedang dibahas di DPRD (ya biasalah mungkin digunakan untuk mensupport anggota dewan?).

Pagi hari Kamis, 5 Juni 2008 karena adanya keinginan untuk melihat Buka-Bukaan kasus Dispenda Gate, sekitar jam 10 saya menuju ke PN Bengkulu, eh ternyata sidangnya mundur dari jadwal yang semestinya jam 09.00 Wib. Menjelang sidang Bapak Chairuddin berbisik kepada saya bahwa untuk mengungkap kasus ini dia tidak akan vulgar mengungkapkannya, nanti akan dilihat momentnya. Sidang baru dimulai sekitar jam 11 siang. Pada saat sidang Hakim memulai dengan pertanyaan soal dibukanya rekening oleh kadispenda. Kemudian jaksa juga memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya lebih pada konfirmasi soal data yang ada.

Suatu kejutan luar biasa justru terjadi ketika Penasehat Hukum yaitu Sdr Nedianto Ramadhan Akil, SH memulai dengan pertanyaaan dan sambil menunjukkan sebuah foto yang bersisi tumpukan uang dan Ajudan Gubernur yaitu Sdr Nuim Hidayat di kantor Bank BRI Kramat Raya.

Sdr Terdakwa apakah sdr kenal dengan orang yang ada difoto ini? Tanya Nedianto
Kenal…itu adalah Sdr Nuim Hidayat ajudan Gubenur Bengkulu. Jawab Chairuddin

Coba Saudaraka jelaskan kejadian difoto ini! Pinta Penasehat hukumnya

Bapak Chairuddin panjang lebar menjelaskan, yang intinya bahwa beliau mencairkan dana sebesar Rp. 1.7 M kepada Ajudan Gubernur atas perintah Gubernur dan diminta untuk menyerahkan uang tersebut tidak di Bengkulu tetapi di Jakarta.

Ada kejadian yang menarik pada saat Bapak Chairuddin mengungkapkan kasus ini, hampir semua pengunjungan sidang terutama keluarga mensupport beliau dengan bertepuk tangan. Kondisi ini seolah-olah betapa gembiranya keluarga beliau atas keberanian untuk mengunkapkan kasus dispenda gate ini dengan transparan. Ini menggambarkan adanya tekanan luar biasa selama ini yang menghimpit keluarga, dan ini juga menggambarkan betapa leganya keluarga atas pengungkapan kasus ini.

Kemudian pengacara memperlihatkan kembali sebuah foto adanya tumpukan uang dan 2 orang yang sedang menghitung-hitung uang. Kembali pengacara meminta penjelasan atas foto tersebut.

Bapak Chairuddin kembali memberi penjelasan panjang lebar, yang intinya dia juga diminta untuk menyerahkan sejumlah uang Rp. 3.5 M, Kepada Husnul Fikri atas perintah Gubernur dan pencairannya juga di Jakarta.

Di persidang juga terungkap adanya aliran dana sebesar Rp. 280 juta melalui Bapak Winarkus dan Hamsir Lair.

Sidang ditutup oleh Hakim pukul 14.30 Wib.

Dari wajah-wajah pengunjung sidang terutama keluarga, betapa leganya keluarga atas mulai tersibaknya bukti-bukti dan fakta-fakta sesungguhnya yang terjadi.

Kunjungan Asisten I Pemda Provinsi Ke Lapas

Hari ini Jum’at 6 Juni 2008, menjelang magrib sekitar jam 17.30 Wib, saya mendapat telepon dari Ibu Zumratul untuk segera ke rumahnya. Intinya ada perkembangan baru yang dari peristiwa buka-bukaan Dispenda Gate hari kemaren. Ibu Zumratul menceritakan kepada saya bahwa setelah Sidang Pemeriksaan Bapak Chairuddin, kemaren sekitar Jam 16.00 beliau mendapat kunjungan istimewa dari Bapak Asisten I Provinsi Bengkulu, yang intinya mempertanyakan mengapa Bapak Chairuddin buka-bukaan di Sidang hari itu. Sempat juga diceritakan oleh Ibu Zumratul, kalau Bapak Chairuddin menyatakan bahwa itulah yang semestinya ia lakukan agar informasi kepada hakim menjadi jelas dan ini untuk kepentingan pengungkapan fakta yang sesungguhnya terjadi, kalau nanti kasus ini akan menyebabkan menyeret pejabat-pejabat lainnya di Pemda Provinsi itu merupakan sebuah resiko dari apa yang pernah terjadi.

Kemudian Ibu Zumratul juga menceritakan juga, bahwa Hari ini tadi sekitar jam 14.30 dia mendapat konfirmasi dari seorang wartawan RRI Bengkulu adanya undangan dari Bapak Arifin Daud sebagai Kadis Infokom Provinsi Bengkulu mengundang wartawan untuk mengadakan Konferensi Pers soal kasus Dispenda Gate. Setelah itu Ibu Zumratul juga mendapat SMS bahwa Bapak Chairuddin telah mengadakan konferensi Pers dengan Wartawan yang difasilitasi oleh Kadis Infokom dan Assisten I Provinsi Bengkulu. Intinya Penasehat Hukum Kecewa terhadap adanya konferensi Pers tanpa melibatkan beliau.

Atas kejadian tersebut ibu Zumratul meminta saran apa yang harus dilakukan selanjutnya agar tidak ada kesimpang siuran Berita soal Dispenda Gate ini. Akhirnya saya menyarankan agar PH diundang kekediaman Ibu Zumratul dan Beberapa keluarga dekat dan beberapa orang wartawan sebagai bentuk klarifikasi.

Kemudian berkembang pembicaraan, untuk menanyakan langsung apa yang sesungguhnya terjadi kepada Bapak Chairuddin di LP. Persoalan muncul karena hari sudah malam, dan untuk mengunjungi LP tentunya punya prosedur tertentu. Akhirnya melalui kontak dan inisiatif bersama, Ibu Zumratul, PH dan keluarga serta beberapa wartawan meluncur ke LP. Dalam perjalanan Ibu Zumratul menceritakan adanya upaya Asisten I Bapak Asmawi A Lamat untuk melakukan pertemuan dengan Ibu Zumratul, hal ini disampaikan oleh salah satu anak buah Bapak Chairuddin di Dispenda Provinsi kepada Ibu Zumratul. Dengan tegas ibu Zumratul meceritakan untuk menolak pertemuan tersebut, karena dia berpikir saat ini yang terpenting adalah tetap menjaga dan mensupport agar Bapak tetap teguh pada pendiriannya untuk mengungkap secara tranparan kasus yang terjadi.

Sesampai di Lapas, akhirnya kami bernegosiasi Alhamdulillah kami diizinkan masuk, kecuali wartawan. Begitu bertemu secara spontan Bapak Chairuddin menyatakan permohonan maaf dan khilaf karena konferensi Pers yang diadakan sore tadi tanpa sepengetahuan PH dan Keluarga. Ketika bertemu dengan bapak Chairuddin, saya punya inisiatif untuk menanyakan duduk permasalahan dan apa tujuan kunjungan Bapak Asisten I hari Kamis berkunjung ke Lapas dan Apa tujuan diadakannya Jumpa Pers yang difasilitasi oleh Kadis Infokom yang didampingi oleh Bapak Asisten I tersebut tanpa melibatkan PH dan Keluarga.

Bapak Chairuddin mencerita duduk persoalan yang sesungguhnya, pernyataan ini di dengar oleh Ibu Zumratul, Anak Bungsunya, PH dan keluarga. Jelas sekali apa yang sesungguhnya terjadi. Berani saya simpulkan bahwa ada upaya-upaya tertentu dari pejabat-pejabat yang datang itu. (Pengakuan beliau direkam, nanti digunakan sebagai bukti dipersidangan jika diperlukan).

Setelah diadakan pertemuan selama lebih kurang 1 jam, kami akhirnya diminta oleh penjaga lapas untuk mengakhiri pertemuan, kemudan Pak Chairuddin menulis sebuah pernyataan singkat di atas buku agendanya dan kemudian untuk diserahkan kepada wartawan. Hasil rekaman pembicaraan malam ini akan menjadi bukti, betapa sesungguhnya kasus dispenda gate ini telah melebar kemana-mana karena sangat banyak kepentingan.

Pernyataan Sikap

Kekhawatiran pemutarbalikkan fakta dan issu benar-benar terjadi, setelah hari Minggu saya membaca beberapa media. Di Bengkulu Ekspress muncul seolah-olah Bapak Chairuddin meminta maaf dengan Gubernur, seolah-olah beliau mencabut keterangan yang diberikan di persidangan yang lalu. Atas berita-berita tersebut akhirnya Bapak Chairuddin menyatakan ia tergangu dengan adanya berita-berita tersebut. Kemudian pada saat ke Lapas, melalui Ibu Zumratul beliau membuat konsep pernyataan dan meminta untuk mengetikkannya dan berkonsultasi dengan PH-nya. Setelah pernyataan diketik dan Bapak Chairuddin kemudian menandatangani pernyataan tersebut dan meminta untuk diketahui Penasehat Hukumnya yaitu Sdr. Nedianto Ramadhan Akil, SH. Pernyataan tersebut akhirnya di kirim beberapa media yang telah mengadakan jumpa pers yang di fasilitasi Kadis Infokom dan Asisten I beberapa waktu yang lalu.



Upaya Membungkam Pers?

Suatu pemandangan yang aneh setelah mengadakan Jumpa Pers di Lapas, Bapak Drs. Arifin Daun, MH dengan sigap membuat suatu upaya baru, yaitu mengadakan pertemuan dengan insan pers di Rumah Makan Embun Pagi (Berita Harian Rakyat Bengkulu), entah apa yang dibicarakan? Yang jelas issu berkembang adanya upaya-upaya penjelasan terkaitan kasus tertentu, dan kami menduga termasuk soal opini publik.

Kami bukannya bermaksud memojokkan seseorang tapi inilah fakta yang lihat pada photo-photo, bukti-bukti kwitansi, dan apa yang saya dengar langsung. Silakan masyarakat menilai apa yang sesungguhnya terjadi. Negara kita adalah negara hukum bersalah tidaknya sesorang harus dibuktikan dipengadilan. Walaupun sesungguhnya issu adanya mapia dalam sistem peradilan kita masih menjadi opini dan momok dalam masyarakat.

Jumat, 06 Juni 2008

Buka Bukaan Dispenda Gate

Terdakwa dugaan korupsi Dispendagate, Drs H.Chairuddin akhirnya buka-bukaan. Ini pun setelah penasihat hukumnya, Nediyanto, SH mendesak Chairuddin agar mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Secara mengejutkan Nediyanto menunjukkan 7 lembar foto penyerahan uang yang diduga terkait aliran dana Dispendagate.



Foto tersebut menggambarkan suasana ajudan Gubernur Agusrin M Najamudin, Nuim saat mencairkan uang di BRI. Menurut Chairuddin, uang tersebut adalah uang dari aliran dana Dispenda diluar Rp 21,3 M yang dicairkannya di bank BRI cabang Kramat Tunggak Jakarta atas permintaan Gub. Foto itu sendiri diambil oleh Chairuddin dengan kamera poketnya, sebagai dokumen pribadi bahwa ia sudah menyerahkan uang kepada atasan.








Berita selengkapnya Harian Rakyat Bengkulu

Selasa, 03 Juni 2008

Kacaunya Administrasi Kependudukan: Beribadah Jalan, Kolusi Jalan

Pasrah dan kecewa. Itulah yang hanya bisa dirasakan 143 Calon Jemaah Haji (CJH) yang berdomisili tetap di Kota Bengkulu. Harapan warga untuk berangkat menunaikan ibadah haji menggantikan calon jemaah haji (CJH) dari luar kota dipastikan batal. Pasalnya, Walikota H. Ahmad Kanedi, SH, MH menolak membatalkan KTP CJH dari luar daerah tersebut (Calon pasti punya KTP luar daerah dan Bikin Satu KTP Kota untuk mendaftarkan sebagai CJH). Menurut Walikota, pembatalan KTP bisa melanggar hukum. Sehingga, harus hati-hati. Pihaknya tetap mengeluarkan SK waiting list. Hati-hati membatalkan KTP orang, bisa melanggar hukum, jawab Walikota.

Mungkin Pak Wali Kota Bengkulu Belum Membaca UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 63 Ayat 6 yang berbunyi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP dan tentunya Pasal 93 yang berbunyi: Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan pasal Pasal 97: Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah). (Selengkapnya UU No. 23 Tahun 2006)

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2006 tersebut jelas-jelas bahwa calon jemaah haji yang berasal dari luar Kota Bengkulu atau Luar Provinsi Bengkulu dapat kita permasalahkan tentang keabsahan identitasnya, karena diduga memilik identitas ganda, dan diduga pada saat melakukan pengurusan KTP memberikan informasi tidak valid atau diduga melakukan pemalsuan data, karena tidak berdomisili di Kota Bengkulu. Mencermati aturan ini, semestinya sebelum terjadi permasalahan lebih pelik, ada upaya-upaya penyelesaian secara elegan dan tidak merugikan Calon Jemaah Haji yang betul-betul berdomisili di Kota Bengkulu. Apalagi dari berita-berita Harian Rakyat Bengkulu beberapa waktu yang lalu, terungkap bahwa CJH tersebut membuat KTP Unprosedural (tidak prosedural).

Dari pantauan Harian Rakyat Bengkulu, sejumlah CJH mulai berdatangan menanyakan informasi kepastian berangkat. Mereka hanya terlihat luyu mendapati penjelasan pihak Kandepag Kota. Sebab, dengan pendaftar haji hingga 1.500 CJH, sementara kuota-nya hanya 305 orang, kesempatan warga kota berangkathaji sangat tipis sekali. Apalagi, jatah untuk warga kota sudah direbut CJH asal luar. Cakmano kami ko pak, makin tuo makin litak. Ngapo pak Wali nggak nyoretnyo, keluhan terdengar dari para CJH asal kota.

Sebelumnya Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Agama (Depag) Provinsi telah menyatakan terang-terangan, sistem waiting list itu tidak berlaku. Bagi Kanwil Depag, waiting list itu hanya termasuk mengundurkan diri, belum cukup usia 17 tahun dan pernah haji. Jika memang ingin memprioritaskan warga kota, maka KTP CJH asal luar harus dibatalkan. Sebab, secara otomatis syarat pendaftaran haji 143 CJH asal luar tadi, batal dengan sendirinya.

Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota, Syaiful Anwar, SE menyayangkan sikap Walikota. Jika memang satu-satunya jalan harus pembatalan KTP, semestinya segera membatalkan. Sekaligus mempertegas posisi CJH kota untuk bisa berangkat atau tidak. Kalau memang mau memprioritaskan calon jemaah haji asal kota, ya.. harus dicabut. Kanwil Depag memang hanya memproses pelaksanan haji. Jika tidak, tidak bisa berangkat, kata dosen Universitas Bengkulu ini.

Mencari Solusi

Polemik Soal CJH di Bengkulu ini, menggambarkan kepada kita betapa sesungguhnya negeri ini tidak pernah serius menangani hal-hal yang bersifat mendasar dalam rangka perencanaan pembangunan, karena data penduduk atau administrasi kependudukan adalah data awal yang akan menentukan perencanaan selanjutnya.

Jika data yang dimiliki amboradul, maka kita tidak bisa berharap banyak, sehingga akan timbul data-data majik (sulapan atau sim salabim), ya tentunya tergantung kebutuhan dan kondisi ini pasti akan menciptakan peluang kolusi dan korupsi. Betapa tidak ketika ingin mengentaskan kemiskinan, ketika ingin membiaya pendidikan, ketika ingin mengatasi masalah kesehatan, ketika menghadapi bencana, ketika pemberangkatan haji seperti saat ini, maka data kependudukan semestinya menjadi acuan.

Jika mimpi kita terwujud dengan adanya SIN atau Singel Identity Number, maka kekisruhan tidak akan terjadi sebab orang tidak akan memiliki identitas yang kembar, Akibatnya dengan gampang seseorang memiliki KTP aspal (asli tapi palsu) untuk mendapatkan jatah kursi pencalonan haji ditempat yang mereka sendiri tidak pernah berdomisili. Hal ini akan membuka peluang manipulasi data yang ujung-ujung pasti persoalan duit, kolusi, korupsi dan nepotisme. Ternyata bangsa ini, pemerintah kita memang selalu memanfaatkan celah pelaksanaan UU untuk mencari tambahan atau ngobyek.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya telah memandu kita untuk membuat sistem administrasi kependudukan dengan benar, akan tetapi karena memang pintar mencari celah, jadilah KTP-KTP aspal dapat digunakan untuk beribadah sekalipun. Rupanya pada saat orang beribadahpun, masih ada peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah yang terjadi, ya seperti acara di salah satu Stasiun TV saja, Ini Nyata dan Hanya Terjadi Di Indonesia.

Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Minggu, 01 Juni 2008

Dua Tahun Penderiataan Rakyat Sidoarjo: Potret Gagalnya Pemerintah SBY & JK

Tanggal 29 Mei 2008, genap dua tahun bencana semburan lumpur dari lapangan gas milik Aburizal Bakrie, Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung. Hingga sekarang, semburan lumpur belum juga terhenti dan luapan lumpur yang mengancam permukiman warga juga semakin luas. Setelah dua tahun berlalu, penyelesaian masalah sosial dan ganti rugi kepada warga juga masih jauh dari selesai. Banyak korban lumpur yang berada di pengungsian. Infrastruktur masih lumpuh. Pembayaran 20 persen uang muka bagi korban yang memilih pola ganti rugi cash and carry saja sampai kini belum tuntas.

Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), 80 % sisanya pembayaran cash and carry semestinya sudah harus dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis.

Selain itu, belum ada penyelesaian terhadap mereka yang menolak skema ”jual beli” (cash and carry) atau resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo. Termasuk di sini adalah mereka yang hingga sekarang masih bertahan di Pasar Baru Porong, yang berjumlah sekitar 2.000 orang dan mereka yang sertifikat tanah atau rumahnya tak bisa di-AJB (akta jual beli)-kan.

Dua tahun sudah bencana lumpur Lapindo menjadi gambaran bagaimana pengelolaan negara ini dijalankan, mungkin begitulah cara para petinggi negara ini menyelesaikan persoalan. Krisis dan penderitaan yang dihadapi warganya, silih berganti tetapi sampai saat ini belum bisa tertangani. Apakah mungkin kita masih bisa berharap pada pemerintah saat ini untuk meneruskan komando untuk mengurus negara? Pemerintah seperti tutup mata dan telinga pada apa yang terjadi. Apakah mereka sanggub untuk berjibaku mengatasi persoalan yang lebih besar? Terutama kemiskinan dan kebodohan? Entah lah? PANTASKAH MEREKA INGIN MENCALONKAN KEMBALI? Jawabnya kita tunggu pada 2009 yang akan datang. Kami berpikir harus ada alternatif pemimpin muda yang visioner. Tidak untuk SBY dan Tidak untuk Yusuf Kalla, mereka telah gagal!

Kelambanan tidak hanya terjadi dalam penanganan para korban di area terdampak, tetapi juga dalam penanganan dampak pada warga 12 desa di luar peta terdampak yang menurut Perpres No 14 Tahun 2007 tidak termasuk dalam wilayah tanggung jawab PT Lapindo. Ya mungkin masyarakat harus pasrah dari ketertindasan, kekerasan dan kekejaman negara? Sang pemilik PT Lapindopun tidak satupun yang bertanggungjawab, mungkin petinggi negara ini sungkan karena besarnya sumbangan kampanye pada 2004 yang lalu, kalau negara memang tidak mau dan mampu memberi hukuman, Rakyatlah yang semestinya menghukum mereka. Caranya? Ya jangan kita pilih pada 2009 yang akan datang.

Hingga sekarang, tidak ada tanda-tanda pemerintah akan menyatakan tempat itu sebagai daerah berbahaya dan melakukan upaya evakuasi terhadap warga.

Kelambanan dan kegagapan pemerintah yang terlihat sejak awal semburan, menurut banyak kalangan, terjadi bukan hanya akibat lemahnya manajemen pemerintah, tetapi juga karena kurangnya kepedulian dan kemauan politik pemerintah.

Dari aspek hukum, hingga sekarang proses hukum kasus ini belum juga jelas, sementara para pakar justru sibuk bersilang pendapat sendiri mengenai penyebab semburan.

Anehnya, meski belum lagi ada keputusan apakah Lapindo bersalah atau tidak, pemerintah sudah mengeluarkan perpres yang menyebutkan batasan area yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo, dan di luar itu menjadi tanggung jawab negara dengan biaya dibebankan pada APBN.

Salah satu pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang adalah mengapa pemerintah atau Perpres No 14/2007 memilih penyelesaian masalah PT Lapindo dengan warga lewat pola transaksi jual beli dan bukannya mekanisme ganti rugi. Dua hal ini jelas sangat berbeda karena pola jual beli menghilangkan hak warga korban akan ganti rugi di luar hilangnya tanah/rumah, termasuk kerugian akibat hilangnya pekerjaan, ikatan sosial dan lingkungan tempat tinggal, hilangnya masa depan, dan sebagainya.

Tidak ada satu klausul pun dalam perpres yang menyebut sanksi jika Lapindo atau pihak lain ingkar janji. Untuk wilayah di luar peta terdampak, setelah diputuskan menjadi tanggung jawab pemerintah, warga yang jadi korban tak juga tertangani. Warga di 12 desa masih berjuang untuk mendapat ganti rugi dan sampai sekarang masih bertahan di tempat tinggalnya yang sebenarnya sangat berbahaya.

Dalam kasus semburan lumpur, pihak yudikatif dan legislatif sudah jelas memperkuat posisi PT Lapindo. Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR sudah menyatakan semburan lumpur sebagai fenomena alam. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga menyatakan, semburan akibat gempa bumi Yogyakarta.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sendiri sudah memenangkan PT Lapindo dalam kasus gugatan perdata yang diajukan Walhi. Pengadilan yang sama juga memenangkan Lapindo dalam gugatan melawan YLBHI dalam kasus ini.

Dalam permohonan hak uji materiil perkara ke Mahkamah Agung (MA), Lapindo lagi-lagi juga dimenangkan. Dengan putusan MA ini, menurut Yuniwati, Perpres No 14/2007 yang membatasi tanggung jawab Lapindo pada area terdampak tidak bisa direvisi selamanya.

Dalam penanganan masalah sosial, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Provinsi Jawa Timur sendiri ibaratnya sudah menyatakan angkat tangan, sementara pemerintah pusat juga sangat tidak tegas dan tak sigap.

Pihak-pihak yang semestinya ikut bertanggung jawab juga seperti sepakat bungkam semua, termasuk BP Migas. (TAT)

Dari berbagai sumber termasuk Kompas, Jumat, 23 Mei 2008 | 00:24 WIB

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *