Danau Dendam Tak Sudah

The Dam Yang tidak selesai, atau De Dam Tak Sudah, Danau Dendam Tak Sudah

60 sd 80% Sampah Rumah Tangga adalah Bahan Organik

Potensi masalah ketika tidak diolah, potensi pendapat keluarga ketika diolah, potensi nilai tambah ketika dilakukan Biokonversi Dikelola Secara Bijak

Urban Farming

Pemanfaat Lahan Masjid Jamik Al Huda sebagai terapi psikologis dan nilaitambah pendapatan keluarga

Urban Farming (Budidaya Lahan Sempat)

Memanfaatkan Lahan Sempit untuk menambah nilai manfaat lahan diperkotaan sekaligus sebagai eduwisata

Urban Farming Tanaman Hortikultura

Sayuran segar siap dikonsumsi kapan saja...

Selasa, 31 Maret 2009

Mobil Produksi Anak Negeri


Jakarta - Kapasitas dapur pacu mobil GEA yang saat ini dipatok hanya sebesar 500 cc saja akan terus dikembangkan oleh BPPT hingga menembus 600 cc.

Hal tersebut diungkapkan oleh Koordinator RUSNAS Engine (Riset Unggulan
Strategis Nasional) dari BPPT Dr. Nyoman Jujur kepada detikOto, akhir pekan lalu.

"Kami akan terus meriset mesin Rusnas ini dan sedang berusaha menambah kapasitas mesinnya," ungkap Nyoman.

Kapasitas mesin Rusnas yang dikembangkan oleh BPPT tersebut menurut Nyoman dapat didongkrak dengan berbagai jalan. "Salah satunya dengan menambah kapasitas di bagian silinder mesin," tuturnya.

Dengan penambahan kapasitas tersebut menurut Nyoman diharapkan kemampuan dan kualitas mesin lokal tersebut walaupun ber-cc kecil dapat bersaing dengan mesin muatan luar.

Karena itulah dia mengharapkan respon positif dari masyarakat yang menurutnya sangatlah berguna dalam upaya pengembangan sebuah mesin mobil nasional.

GEA adalah sebuah mobil hasil produksi anak negeri yang pengembangan bodinya diprakarsai oleh sebuah perusahaan asal Madiun yakni PT Inka namun untuk urusan mesinnya diserahkan ke BPPT untuk melakukan serangkaian riset mendalam.

Mesin hasil 500 cc hasil pengembangan BPPT tersebut memiliki tenaga maksimal hingga 11,5 kW pada 3.800 rpm dengan torsi mencapai 31 Nm pada putaran 2.800 rpm.

GEA yang merupakan singkatan dari Gulirkan Energi Alternatif ini sebelumnya memasang mesin 650 cc dari China.

Namun karena ingin meningkatkan kandungan lokal, mesin China pun digusur dan diganti dengan mesin dari BPPT. ( syu / ddn )

Senin, 23 Maret 2009

Kebijakan Walikota Dinilai Primitif


Dikatakan Usman Yassin, dari konsultasinya dengan sejumlah anggota DPRD Kota, penganggaran Jamkesmasda itu untuk mendukung Jamkesmas dari Pusat. Karena kuota untuk Kota Bengkulu masih sangat kurang. Sedangkan semangat dari Jamkesmasda itu untuk memberikan kepastian. “Kalau seperti itu, bukan lagi jaminan namanya. Tapi warga miskin disuruh meminta-minta,” kritik Usman Yassin.

Kemudian, lanjutnya, majunya sebuah pemerintahan ditandai dengan sistem pelayanan yang otomatis. Seperti sistem asuransi. Bukan lagi dengan sistem uang tunai dan merepotkan. Pengelolaan keuangan khususnya Jamkesmasda, sangat jauh dari profesionalisme.

“Dengan sistem ini, kita menjadi mundur ke belakang. Apalagi, peraturannya hingga bulan ke-4 APBD 2009, belum juga terbit. Hal ini makin menunjukkan tidak profesionalnya jajaran Pemkot,” tandasnya.

Apalagi, tambahnya, secara psikologi, masyakarat miskin paling enggan berurusan dengan birokrasi. Jangankan ke kantor Walikota, ke kantor lurah saja, warga miskin masih takut-takut. Ini malah disuruh mengikuti prosedur yang panjang dan memakan waktu. “Orang miskin yang sakit keburu mati, bantuannya belum tentu cair,” sesal Usman Yassin.

Untuk itu, Usman mendesak agar Pemkot menyerahkan anggaran Rp 1,3 M itu ke pihak profesional seperti PT Askes. Agar anggaran tersebut dikelola menjadi Jamkesmasda. Jika Pemkot tidak mampu untuk menutupi seluruh kekurangan kartu Jamkesmasda bagi seluruh warga miskin, bisa ditambah di APBD-Perubahan.

“Loh, untuk acara seremonial pertemuan LPN (Lokakarya Pemerintah Nasional) yang hanya 3 hari saja, Pemkot mampu menghabiskan hingga Rp 3 M. Kok untuk masyarakat miskin yang memang butuh, tidak mampu. Kan aneh!” imbuhnya.

Sayangnya, Kabag Humas Pemkot, Drs. Bahrum Simamora tidak berhasil dikonfirmasi. Begitu juga dengan Ketua Satgas Kesehatan Darurat yang juga Asisten I Sekkot, Joni Simamora, SH, M.Hum. Namun sebelumnya, Joni Simamora beralasan, tidak diserahkannya anggaran Rp 1,3 M ke pihak profesional, karena belum mampu.

Dengan anggaran Rp 1,3 M, hanya menutupi sebagian dari jumlah warga miskin. “Memang, niat baik terkadang dinilai tidak bagus,” kata Joni Simamora kepada RB baru-baru ini.(joe) Sumber Harian Rakyat Bengkulu, Senin, 23 Maret 2009

Senin, 02 Maret 2009

Yayasan Lembak: Tolak Sidang Dispendagate Jilid II Di Bengkulu

Zumaratul yang didampingi Direktur Yayasan Lembak, Ir. Usman Yassin, M.Si menilai dipindahkannya sidang Dispendagate jilid II di Bengkulu, seperti membodoh-bodohi masyarakat. “Lakukan saja sesukanya. Kami hanya pasrah,” kata Zumratul dengan perasaan kecewa.

Yayasan Lembak menilai, penegakan hukum di Bengkulu penuh tanda tanya. Sehingga, pihaknya sangat mendukung ketika KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) dan meminta Kejagung agar menarik kasus yang menghebohkan itu ke Kejagung. “Kita minta agar persidangan kasus Dispendagate Jilid II dapat dilakukan di Jakarta. Agar bisa berlangsung objektif, sesuai hukum di Indonesia,” tegas Usman.

Kepada RB, Usman lantas bercerita tentang perjalanan kasus Dispendagate yang membuat mereka kecewa. Pada 5 Juni 2008, Chairuddin disidangkan di Pengadilan Negeri, sebagai terdakwa. Dalam sidang itu, diungkapkan sejumlah bukti-bukti hukum. Diantaranya, 8 lembar foto yang bergambar penyerahan uang Dispendagate ke ajudan gubernur, Nuim Hidayat dan orang dekat Gubernur, Husnul Fikri.

Kemudian, tambahnya, diungkapkan juga adanya surat disposisi Gubernur yang ditujukan kepada Kadis Pendapatan Provinsi, untuk pembelian alat-alat berat dan proyek jarak. Kedua disposisi itu bernilai Rp 14 M. “Lalu, ada juga foto-foto nomor seri travel check. Bukti-bukti itu memperkuat adanya keterlibatan Gubernur dalam kasus Dispendagate,” paparnya.

Namun, majelis hakim terkesan mengabaikan bukti-bukti tersebut. Fakta-fakta hukum tidak diindahkan. Tidak ada upaya dari majelis hakim untuk menghadirkan Gubernur atau saksi kunci, Husnul Fikri dalam persidangan. “Jaksa tidak mampu menghadirkan saksi kunci. Gubernur tidak pernah di BAP (Berkas Acara Pemeriksaan) atau diminta kesaksiannya. Padahal, bukti-bukti menunjukkan adanya dugaan kuat terlibat Gubernur,” bebernya.

Usman Yasin yang ikut mendampingi perjalanan kasus Dispendagate jilid I ini mengisahkan kronologis perkara Dispendagate diambil KPK. Pada 26 Agustur 2008, KPK mengundang Kejagung dan Kejati Bengkulu, untuk gelar perkara.

Hasilnya, dengan menggunakan bukti-bukti yang sama seperti diungkapkan di Pengadilan Negeri, kasus yang bermula dari temuan BPK RI ini, diambil Kejagung. Dan KPK bertindak sebagai supervisi. “Gubernur ditetapkan menjadi tersangka. Meskipun tidak melalui proses pemeriksaan sebelumnya,” ujar pengelola situs www.yayasanlembak.com ini.

Artinya, jelas Usman, dengan bukti-bukti yang pernah ditunjukkan di Pengadilan Negeri, Kejagung berani menetapkan Gubernur sebagai tersangka. Sehingga, tambahnya, pihaknya merasa aneh. Ketika Kejagung bakal menyidangkan Gubernur di Bengkulu. “Kalau memang serius, sejak awal kasus ini sudah tuntas,” sinis Usman.

Untuk itu, Usman Yassin berjanji untuk mensosialisasikan penolakan ini. Kepada ormas, LSM, BEM maupun elemen masyarakat lainnya. Agar menolak bersama-sama, sidang Dispendagate Jilid II di Bengkulu. “Hukum harus ditegakkan sebenar-benarnya,” tandas dosen UMB ini.

Selain itu, Usman Yassin mengkritik tindakan Gubernur Agusrin memberikan jaminan penangguhan penahanan kepada tersangka kasus 3 Gedung Bentiring, Aliberti dan Winarkus. Sebab, status Gubernur saat ini adalah tersangka dalam kasus Dispendagate jilid II. “Kan aneh, tersangka menjamin tersangka lain dalam kasus korupsi,” sindir Usman.

Tak Bisa Menolak

Terkait penolakan keluarga Chairudin untuk disidangkannya kasus Dispenda Gate jilid II, Humas Pengadilan Negeri Mas’ud SH, MH belum dapat memastikan apakah kasus Dispenda Gate jilid II benar-benar disidangkan di Bengkulu.

Karena hingga kemarin (1/3) belum ada pelimpahan berkas dari Kejagung Jakarta. “Itukan baru wacana, belum ada kepastian. Jadi kita belum bisa menyatakan apakah benar-benar akan disidangkan di Bengkulu,” terang Mas’ud.

Kata Mas’ud, kalau pun nantinya kasus tersebut benar-benar disidangkan di PN Bengkulu, pihak keluarga Chairudin tidak bisa menolak persidangan tersebut. Karena yang menentukan lokasi persidangan adalah keputusan hukum. “Sesuai dengan aturan, kalau memang dilimpahkan ke Bengkulu, maka akan disidangkan di Bengkulu. Dan itu tidak dapat ditolak oleh siapapun,” terang Mas’ud.

Secara terpisah, praktisi hukum senior di Bengkulu, Azi Ali Tjasa, SH, MH berpendapat, karena penyidikan dilakukan Kejaksaan, sah-sah saja kalau Kejagung menyerahkan ke Kejati. Sebab, Kejagung dan Kejati sebuah lembaga yang hirarki. “Tapi yang penting komitmennya untuk menegakkan hukum sebenar-benarnnya,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu ini.

Diakui Ali Tjasa, masyarakat mulai tidak percaya dengan penegakan hukum di Bengkulu. Melihat dari sejumlah kasus korupsi yang diperlakukan beda. Seperti adanya tersangka yang ditahan, tapi ada pula tersangka yang ditangguhkan. “Semua pihak harus ikut mengawasi, termasuk wartawan. Jika ada pelanggaran terhadap hukum, tulis besar-besar,” ujar akadimisi yang pernah menjadi Jaksa ini.

Dalam berbagai kesempatan kepada wartawan, Gubernur Agusri M Najamuddin sejak awal mencuatnya kasusnya yakin dirinya tidak bersalah. Sebagai warga negara, Agusrin selalu menyatakan kesiapannya diperiksa. Malah dia berharap kasus ini cepat disidangkan agar ada keputusan hukum yang jelas tentang dirinya.

‘’Bagi saya, lebih cepat tentu akan lebih baik,’’ katanya.

Dia menyerahkan semuanya kepada aparat penegak hukum. Terkait tandatangan dirinya dalam surat yang ditujukan kepada Menkeu, Agusrin sudah melaporkan Chairuddin ke Polda Bengkulu. Karena dia berkeyakinan tidak pernah menandatangani pemindahan rekening, yang merupakan awal dari kasus korupsi Dispendagate. Hasil dari pemeriksaan labfor, tandatangan tersebut discan.

Putusan hukum atas Chairuddin sendiri sudah incracht setelah MA menguatkan putusan PT (pengadilan tinggi) yang memvonis mantan Kadispenda ini dengan hukuman 1,5 tahun penjara. (adn)

Sumber: Harian Rakyat Bengkulu

Rabu, 25 Februari 2009

Bahasa Ibu

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari 2003 sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Keputusan itu diambil pada November 1999 dan tanggal itu pertama kali diperingati tahun 2000 di Markas UNESCO di Paris. Peristiwa ini penting dicatat karena beberapa alasan, antara lain sebagai berikut.

Pada tahun 1951 para pakar pendidikan dan bahasa UNESCO sebenarnya telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan karena tiga alasan. Secara psikologis bahasa itu sudah merupakan alat berpikir sejak anak lahir. Secara sosial bahasa ibu dipakai dalam komunikasi sehari-hari dengan lingkungan terdekatnya. Secara edukasional, pembelajaran melalui bahasa ibu seyogianya mempermudah pemerolehan ilmu pengetahuan di sekolah dan proses pendidikan pada umumnya.

Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional sekarang ini berlangsung di tengah-tengah gencarnya semangat globalisasi. Dalam bidang ekonomi, kita mendapat tekanan internasional, mau tidak mau harus menyepakati kebijakan ekonomi melalui AFTA dengan segala konsekuensinya. Secara keliru, AFTA ini banyak ditafsirkan sebagai identik dengan absolutisme penguasaan bahasa Inggris dan diyakini akan menganaktirikan bahasa Indonesia, lebih-lebih bahasa daerah (BD).

Sejumlah Kekeliruan

ADA sejumlah kekeliruan yang perlu diluruskan. Pertama, pemisahan politik bahasa dari politik kebudayaan, padahal bahasa menjadi berharga karena “apa” yang diusungnya. Sebagai perbandingan, bahasa Arab mengusung (baca: identik dengan) agama Islam, bahasa Inggris mengusung (baca: identik dengan) teknologi. Ada asumsi bahwa orang Sunda kotemporer lebih nineung kepada kebudayaan Sunda daripada kepada bahasanya. Romantisme kultural ini sesungguhnya merupakan potensi psikologis untuk melakukan revitalisasi bahasa Sunda.

Kekeliruan kedua adalah mengartikan pelestraian BD sebagai penguasaan pengetahuan bahasanya termasuk undak-usuk yang melelahkan. Perlu disadari semua pihak bahwa yang terpenting adalah memfungsikan BD secara diglosik, yakni pemakaian secara bilingual, fungsional, dan kontekstual. Setiap bahasa (Sunda, Indonesia, dan asing) dalam kehidupan yang semakin kompleks ini memiliki karakteristik internal dan peran sosial masing-masing.

Tugas perencana bahasa adalah antara lain memberi deskripsi karakteristik dan peran-peran ini agar ketiganya berperan maksimal dalam kehidupan sehari-hari. Kekeliruan ketiga, sejarah politik kebudayaan nasional kita mewariskan asumsi bahwa BD akan menjadi pemicu disintegrasi bangsa sebagaimana dikhawatirkan dalam seminar politik bahasa tahun 1975. Kekhawatiran itu hanya mengada-ada saja. Bila sekarang ini ada gejolak politik kedaerahan, gejolak itu bukan karena sentimen BD, melainkan lebih karena politik kebudayaan nasional sentralistik selama ini yang notabene difasilitasi dengan bahasa nasional.

Paradigma Baru

DALAM teori produksi dan reproduksi kultural, literasi (melek huruf) dalam bahasa ibu atau BD ditasbihkan sebagai prasyarat bagi pembangunan setiap kampanye atau gerakan literasi sebagai cara untuk memberdayakan budaya dan kesejarahan suatu bangsa. Selama ini literasi masih dibatasi pada penguasaan bahasa Indonesia dan programnya ditafsirkan secara sempit dengan fokus pada keterampilan baca-tulis dalam bahasa itu.

Dalam pada itu peran literasi bahasa Arab seperti dinafikan begitu saja. Banyak orang tua di Indonesia yang buta huruf Latin, tetapi mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab. Huruf Arab Melayu telah berjasa sebagai medium dalam mendidik bangsa ini. Para orang tua berkomunikasi dalam BD dengan huruf tersebut. Sayangnya sistem pendidikan sekarang ini tidak lagi melihatnya sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, padahal di Malaysia aksara ini masih dilestarikan. Bahkan, mereka menyebutnya sebagai huruf Arab Jawi.

Gambaran di atas mencerminkan sikap apriori dan tutup mata terhadap pengalaman kultural kelompok-kelompok etnis yang notabene menjadi objek kebijakan nasional ini. Di nusantara terdapat sekira 700 bahasa ibu yang dipastikan mengusung kebudayaan etnis. Dalam bahasa-bahasa itulah terpendam kearifan-kearifan lokal (local genius) yang memerlukan kajian kritis semua pihak.

Politik BD seyogianya dimaknai sebagai upaya untuk mengokohkan peristiwa-peristiwa historis dan eksistensialis dari budaya etnis demi terjadinya reproduksi kultural, yakni pemberdayaan pengalaman kolektif semua pihak atau stakeholders dari BD. Perlu diluruskan bahwa pemertahanan identitas kultur etnis tidak berarti penolakan akan kearifan lokal budaya etnis lain, apalagi budaya nasional.

Para seniman, wartawan, pendidik, sejarawan, politisi, pelaku bisnis, dan ahli bahasa memiliki kepentingan tersendiri terhadap BD, dan ini sah-sah saja. Reproduksi kultural BD adalah sinerji semua kepentingan itu. Sebagai perbandingan, bahasa Inggris sedemikian rupa bergengsinya hampir pada setiap aspek kehidupan: sosial, politik, teknologi, sastra, mitologi, dan lain sebagainya. Dan, semuanya itu menggunakan medium bahasa Inggris sehingga berkembanglah puspa ragam bahasa Inggris dalam genre-genre itu.

Perda Kebudayaan

Perlunya perda pemeliharaan Bahasa Ibu, sehingga diharapkan penggunaan Bahasa Ibu tidak hilang tinggal sebagai catatan sejarah saja. Dalam kajian kebudayaan secara makro, keluarnya perda itu sangat tepat bila dilihat sebagai alat untuk memelihara dan penciri adanya kebudayaan di suatu daerah.

Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk merealisasikankan perda penggunaan Bahasa Ibu.

(Dari Berbagai Sumber)

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *