Danau Dendam Tak Sudah

The Dam Yang tidak selesai, atau De Dam Tak Sudah, Danau Dendam Tak Sudah

60 sd 80% Sampah Rumah Tangga adalah Bahan Organik

Potensi masalah ketika tidak diolah, potensi pendapat keluarga ketika diolah, potensi nilai tambah ketika dilakukan Biokonversi Dikelola Secara Bijak

Urban Farming

Pemanfaat Lahan Masjid Jamik Al Huda sebagai terapi psikologis dan nilaitambah pendapatan keluarga

Urban Farming (Budidaya Lahan Sempat)

Memanfaatkan Lahan Sempit untuk menambah nilai manfaat lahan diperkotaan sekaligus sebagai eduwisata

Urban Farming Tanaman Hortikultura

Sayuran segar siap dikonsumsi kapan saja...

Jumat, 06 Juni 2008

Buka Bukaan Dispenda Gate

Terdakwa dugaan korupsi Dispendagate, Drs H.Chairuddin akhirnya buka-bukaan. Ini pun setelah penasihat hukumnya, Nediyanto, SH mendesak Chairuddin agar mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Secara mengejutkan Nediyanto menunjukkan 7 lembar foto penyerahan uang yang diduga terkait aliran dana Dispendagate.



Foto tersebut menggambarkan suasana ajudan Gubernur Agusrin M Najamudin, Nuim saat mencairkan uang di BRI. Menurut Chairuddin, uang tersebut adalah uang dari aliran dana Dispenda diluar Rp 21,3 M yang dicairkannya di bank BRI cabang Kramat Tunggak Jakarta atas permintaan Gub. Foto itu sendiri diambil oleh Chairuddin dengan kamera poketnya, sebagai dokumen pribadi bahwa ia sudah menyerahkan uang kepada atasan.








Berita selengkapnya Harian Rakyat Bengkulu

Selasa, 03 Juni 2008

Kacaunya Administrasi Kependudukan: Beribadah Jalan, Kolusi Jalan

Pasrah dan kecewa. Itulah yang hanya bisa dirasakan 143 Calon Jemaah Haji (CJH) yang berdomisili tetap di Kota Bengkulu. Harapan warga untuk berangkat menunaikan ibadah haji menggantikan calon jemaah haji (CJH) dari luar kota dipastikan batal. Pasalnya, Walikota H. Ahmad Kanedi, SH, MH menolak membatalkan KTP CJH dari luar daerah tersebut (Calon pasti punya KTP luar daerah dan Bikin Satu KTP Kota untuk mendaftarkan sebagai CJH). Menurut Walikota, pembatalan KTP bisa melanggar hukum. Sehingga, harus hati-hati. Pihaknya tetap mengeluarkan SK waiting list. Hati-hati membatalkan KTP orang, bisa melanggar hukum, jawab Walikota.

Mungkin Pak Wali Kota Bengkulu Belum Membaca UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 63 Ayat 6 yang berbunyi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP dan tentunya Pasal 93 yang berbunyi: Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan pasal Pasal 97: Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah). (Selengkapnya UU No. 23 Tahun 2006)

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2006 tersebut jelas-jelas bahwa calon jemaah haji yang berasal dari luar Kota Bengkulu atau Luar Provinsi Bengkulu dapat kita permasalahkan tentang keabsahan identitasnya, karena diduga memilik identitas ganda, dan diduga pada saat melakukan pengurusan KTP memberikan informasi tidak valid atau diduga melakukan pemalsuan data, karena tidak berdomisili di Kota Bengkulu. Mencermati aturan ini, semestinya sebelum terjadi permasalahan lebih pelik, ada upaya-upaya penyelesaian secara elegan dan tidak merugikan Calon Jemaah Haji yang betul-betul berdomisili di Kota Bengkulu. Apalagi dari berita-berita Harian Rakyat Bengkulu beberapa waktu yang lalu, terungkap bahwa CJH tersebut membuat KTP Unprosedural (tidak prosedural).

Dari pantauan Harian Rakyat Bengkulu, sejumlah CJH mulai berdatangan menanyakan informasi kepastian berangkat. Mereka hanya terlihat luyu mendapati penjelasan pihak Kandepag Kota. Sebab, dengan pendaftar haji hingga 1.500 CJH, sementara kuota-nya hanya 305 orang, kesempatan warga kota berangkathaji sangat tipis sekali. Apalagi, jatah untuk warga kota sudah direbut CJH asal luar. Cakmano kami ko pak, makin tuo makin litak. Ngapo pak Wali nggak nyoretnyo, keluhan terdengar dari para CJH asal kota.

Sebelumnya Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Agama (Depag) Provinsi telah menyatakan terang-terangan, sistem waiting list itu tidak berlaku. Bagi Kanwil Depag, waiting list itu hanya termasuk mengundurkan diri, belum cukup usia 17 tahun dan pernah haji. Jika memang ingin memprioritaskan warga kota, maka KTP CJH asal luar harus dibatalkan. Sebab, secara otomatis syarat pendaftaran haji 143 CJH asal luar tadi, batal dengan sendirinya.

Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota, Syaiful Anwar, SE menyayangkan sikap Walikota. Jika memang satu-satunya jalan harus pembatalan KTP, semestinya segera membatalkan. Sekaligus mempertegas posisi CJH kota untuk bisa berangkat atau tidak. Kalau memang mau memprioritaskan calon jemaah haji asal kota, ya.. harus dicabut. Kanwil Depag memang hanya memproses pelaksanan haji. Jika tidak, tidak bisa berangkat, kata dosen Universitas Bengkulu ini.

Mencari Solusi

Polemik Soal CJH di Bengkulu ini, menggambarkan kepada kita betapa sesungguhnya negeri ini tidak pernah serius menangani hal-hal yang bersifat mendasar dalam rangka perencanaan pembangunan, karena data penduduk atau administrasi kependudukan adalah data awal yang akan menentukan perencanaan selanjutnya.

Jika data yang dimiliki amboradul, maka kita tidak bisa berharap banyak, sehingga akan timbul data-data majik (sulapan atau sim salabim), ya tentunya tergantung kebutuhan dan kondisi ini pasti akan menciptakan peluang kolusi dan korupsi. Betapa tidak ketika ingin mengentaskan kemiskinan, ketika ingin membiaya pendidikan, ketika ingin mengatasi masalah kesehatan, ketika menghadapi bencana, ketika pemberangkatan haji seperti saat ini, maka data kependudukan semestinya menjadi acuan.

Jika mimpi kita terwujud dengan adanya SIN atau Singel Identity Number, maka kekisruhan tidak akan terjadi sebab orang tidak akan memiliki identitas yang kembar, Akibatnya dengan gampang seseorang memiliki KTP aspal (asli tapi palsu) untuk mendapatkan jatah kursi pencalonan haji ditempat yang mereka sendiri tidak pernah berdomisili. Hal ini akan membuka peluang manipulasi data yang ujung-ujung pasti persoalan duit, kolusi, korupsi dan nepotisme. Ternyata bangsa ini, pemerintah kita memang selalu memanfaatkan celah pelaksanaan UU untuk mencari tambahan atau ngobyek.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya telah memandu kita untuk membuat sistem administrasi kependudukan dengan benar, akan tetapi karena memang pintar mencari celah, jadilah KTP-KTP aspal dapat digunakan untuk beribadah sekalipun. Rupanya pada saat orang beribadahpun, masih ada peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah yang terjadi, ya seperti acara di salah satu Stasiun TV saja, Ini Nyata dan Hanya Terjadi Di Indonesia.

Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

Minggu, 01 Juni 2008

Dua Tahun Penderiataan Rakyat Sidoarjo: Potret Gagalnya Pemerintah SBY & JK

Tanggal 29 Mei 2008, genap dua tahun bencana semburan lumpur dari lapangan gas milik Aburizal Bakrie, Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung. Hingga sekarang, semburan lumpur belum juga terhenti dan luapan lumpur yang mengancam permukiman warga juga semakin luas. Setelah dua tahun berlalu, penyelesaian masalah sosial dan ganti rugi kepada warga juga masih jauh dari selesai. Banyak korban lumpur yang berada di pengungsian. Infrastruktur masih lumpuh. Pembayaran 20 persen uang muka bagi korban yang memilih pola ganti rugi cash and carry saja sampai kini belum tuntas.

Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), 80 % sisanya pembayaran cash and carry semestinya sudah harus dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis.

Selain itu, belum ada penyelesaian terhadap mereka yang menolak skema ”jual beli” (cash and carry) atau resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo. Termasuk di sini adalah mereka yang hingga sekarang masih bertahan di Pasar Baru Porong, yang berjumlah sekitar 2.000 orang dan mereka yang sertifikat tanah atau rumahnya tak bisa di-AJB (akta jual beli)-kan.

Dua tahun sudah bencana lumpur Lapindo menjadi gambaran bagaimana pengelolaan negara ini dijalankan, mungkin begitulah cara para petinggi negara ini menyelesaikan persoalan. Krisis dan penderitaan yang dihadapi warganya, silih berganti tetapi sampai saat ini belum bisa tertangani. Apakah mungkin kita masih bisa berharap pada pemerintah saat ini untuk meneruskan komando untuk mengurus negara? Pemerintah seperti tutup mata dan telinga pada apa yang terjadi. Apakah mereka sanggub untuk berjibaku mengatasi persoalan yang lebih besar? Terutama kemiskinan dan kebodohan? Entah lah? PANTASKAH MEREKA INGIN MENCALONKAN KEMBALI? Jawabnya kita tunggu pada 2009 yang akan datang. Kami berpikir harus ada alternatif pemimpin muda yang visioner. Tidak untuk SBY dan Tidak untuk Yusuf Kalla, mereka telah gagal!

Kelambanan tidak hanya terjadi dalam penanganan para korban di area terdampak, tetapi juga dalam penanganan dampak pada warga 12 desa di luar peta terdampak yang menurut Perpres No 14 Tahun 2007 tidak termasuk dalam wilayah tanggung jawab PT Lapindo. Ya mungkin masyarakat harus pasrah dari ketertindasan, kekerasan dan kekejaman negara? Sang pemilik PT Lapindopun tidak satupun yang bertanggungjawab, mungkin petinggi negara ini sungkan karena besarnya sumbangan kampanye pada 2004 yang lalu, kalau negara memang tidak mau dan mampu memberi hukuman, Rakyatlah yang semestinya menghukum mereka. Caranya? Ya jangan kita pilih pada 2009 yang akan datang.

Hingga sekarang, tidak ada tanda-tanda pemerintah akan menyatakan tempat itu sebagai daerah berbahaya dan melakukan upaya evakuasi terhadap warga.

Kelambanan dan kegagapan pemerintah yang terlihat sejak awal semburan, menurut banyak kalangan, terjadi bukan hanya akibat lemahnya manajemen pemerintah, tetapi juga karena kurangnya kepedulian dan kemauan politik pemerintah.

Dari aspek hukum, hingga sekarang proses hukum kasus ini belum juga jelas, sementara para pakar justru sibuk bersilang pendapat sendiri mengenai penyebab semburan.

Anehnya, meski belum lagi ada keputusan apakah Lapindo bersalah atau tidak, pemerintah sudah mengeluarkan perpres yang menyebutkan batasan area yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo, dan di luar itu menjadi tanggung jawab negara dengan biaya dibebankan pada APBN.

Salah satu pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang adalah mengapa pemerintah atau Perpres No 14/2007 memilih penyelesaian masalah PT Lapindo dengan warga lewat pola transaksi jual beli dan bukannya mekanisme ganti rugi. Dua hal ini jelas sangat berbeda karena pola jual beli menghilangkan hak warga korban akan ganti rugi di luar hilangnya tanah/rumah, termasuk kerugian akibat hilangnya pekerjaan, ikatan sosial dan lingkungan tempat tinggal, hilangnya masa depan, dan sebagainya.

Tidak ada satu klausul pun dalam perpres yang menyebut sanksi jika Lapindo atau pihak lain ingkar janji. Untuk wilayah di luar peta terdampak, setelah diputuskan menjadi tanggung jawab pemerintah, warga yang jadi korban tak juga tertangani. Warga di 12 desa masih berjuang untuk mendapat ganti rugi dan sampai sekarang masih bertahan di tempat tinggalnya yang sebenarnya sangat berbahaya.

Dalam kasus semburan lumpur, pihak yudikatif dan legislatif sudah jelas memperkuat posisi PT Lapindo. Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR sudah menyatakan semburan lumpur sebagai fenomena alam. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga menyatakan, semburan akibat gempa bumi Yogyakarta.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sendiri sudah memenangkan PT Lapindo dalam kasus gugatan perdata yang diajukan Walhi. Pengadilan yang sama juga memenangkan Lapindo dalam gugatan melawan YLBHI dalam kasus ini.

Dalam permohonan hak uji materiil perkara ke Mahkamah Agung (MA), Lapindo lagi-lagi juga dimenangkan. Dengan putusan MA ini, menurut Yuniwati, Perpres No 14/2007 yang membatasi tanggung jawab Lapindo pada area terdampak tidak bisa direvisi selamanya.

Dalam penanganan masalah sosial, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Provinsi Jawa Timur sendiri ibaratnya sudah menyatakan angkat tangan, sementara pemerintah pusat juga sangat tidak tegas dan tak sigap.

Pihak-pihak yang semestinya ikut bertanggung jawab juga seperti sepakat bungkam semua, termasuk BP Migas. (TAT)

Dari berbagai sumber termasuk Kompas, Jumat, 23 Mei 2008 | 00:24 WIB

Polemik Tugu Thomas Parr



Foto, Minggu 1 Juni 2008, Jam 09.25 Wib, Alat berat bekerja menghancurkan beberapa situs Tugu Thomas Par


Suatu kebahagian tersendiri ketika Provinsi Bengkulu, suatu saat sejajar dengan Provinsi yang lain di Indonesia. Tapi harapan rakyat Bengkulu untuk terjadinya perubahan, semakin hari semakin jauh. Janji 2.5 tahun terjadi perubahan, ternyata dimaknai lain, kalau dalam PROPEDA (Program Pembangunan Daerah) bahwa leading sector adalah agribisnis dan agroindustri dengan sumbangan pada PDRB mencapai 40% dan jumlah tenaga kerja yang bekerja disektor pertanian mendekati angka 60%, tetapi siapa nyana ternyata prioritas pembangunan memang berubah ke arahan Cita-cita muluk seperti pungguk merindukan bulan untuk menjadi daerah tujuan wisata No. 2 di Indonesia.

Hal ini terungkap dalam diskusi dengan tema Prospek Pengembangan Pariwisata dan Meningkatkan Perekonomian Daerah di Universitas Bengkulu, Kamis 29 Mei 2008 dimana pembangunan Pariwisata Internasional yang dicanangkan telah menelan banyak biaya, tetapi dari diskusi terungkap bahwa ternyata pembangunan pariwisata yang dilakukan memiliki banyak titik lemah, bahkan Seorang Pemakalah yaitu Bapak Drs. Asmawi Saidina, M.Si. anggota DPRD Provinsi Bengkulu, mengungkapkan bahwa masih sangat jauh jika ambisi Gubernur untuk menargetkan Pariwisata Bengkulu pada urutan ke 2 sebagai daerah tujuan wisata. Beliau mengungkapkan hal yang realitis adalah mempersiapkan terlebih dahulu semua perangkat dalam kerangka membangun pariwisata, bukan dengan target yang tidak masuk akal.

Bahkan dalam disikusi sebelum presentasi makalahnya, saya sempat mengkonfirmasi soal pembangunan terowongan yang digagas oleh gubernur, beliau dengan tegas menjelaskan bahwa belum ada dana APBD yang dialokasi untuk itu. Keadaan ini memberikan gambaran kepada kita bahwa gubernur seenaknya menggunakan anggaran yang berasal dari rakyat tanpa memerlukan persetujuan dari DPRD. Saya mengkonfrontasikan pendapat Bapak Asmawi, bukankah semestinya sebagai Anggota DPRD, jika memang belum ada anggaran dan tentunya perencanaan anggaran, maka anggota DPRD harus menyetop proses pembangunan itu tadi. Beliau menyatakan bahwa DPRD sudah menyuarakan, tetapi ini tetap dilakukan tanpa memperhatikan keberatan dari berbagai pihak.

Yang lebih miris adalah pembangunan itu telah menginjak-injak peraturan perundang-undangan yang melindungi situs cagar budaya tersebut. Memang pembangunan terowongan tidak langsung membongkar tugu Thomas Parr, tetapi itupun bergeser karena mendapat penolakan dari masyarakat. Fakta di lapangan semua pagar batas dan beberapa situs yang ada sudah digusur dengan alat berat, tinggal hanya tugu Thomas Parrnya saja, dengan lobang besar untuk terowongan, entah untuk apa kegunaannya. Kita akan sama-sama lihat, seberapa besar manfaatnya pembuatan terowongan ini bagi masyarakat, ataukan hanya ingin hal-hal yang bersifat monumental, bukan untuk membangan ekonomi rakyat seperti yang dijanjikan. Lalu apanya yang berubah? Secara fisik memang banyak situs-situs cagar budaya yang sudah dirubah, persoalannya adalah apakah perubahan itu membawa manfaat atau malah menghilangkan pemaknaan dalam pembangunan pariwisata itu sendiri? Kita lihat saja nanti.



Komentar

Jangan Bongkar Tugu Bulek
Dear Usman Jaya..
sy anak asli bengkulu dan sekarang menetap di batam dan saya sangat2 tidak setuju dengan dilakukannya pembongkaran tugu bulek tersebut. saya sangat setuju kalo kita batalkan saja rencana dr dinas PU tersebut...!!!!
kalau mereka mau bongkar boleh saja tapi jangan TUGU BULEK tersebut tapi bongkar aja rumah2 gubuk yg ada dan diganti dengan bangunan yg bagus dan layak. masih banyak lagi masyarakat Bengkulu yg membutuhkan uang itu untuk menaikkan taraf hidup mereka (uang dr dana plan proyek tersebut).. dinas PU tersebut jangan sembarangan aja main bongkar hanya demi mendapatkan proyek yg uangnya notabene hilang entah kemana...!!!
MEREKA HARUS MENGERTI PEDIHNYA PAHLAWAN KT ZAMAN DAHULU UNTUK MEMPERTAHANKAN HARKAT DAN MARTABAT KITA SEBAGAI MASYARAKAT BENGKULU...!!! APAPUN ALASANNYA TUGU BULEK TERSEBUT JANGAN PERNAH DI BONGKAR KARNA ITU KEBANGGAAN RAKYAT BENGKULU TEMPO DULU UNTUK MENAIKKAN HARKAT DAN MARTABAT KITA...!!! INGAT, INI BUKTI SEJARAH...!!!!

Best Regards,
ego76id@yahoo.com

Opini Tugu Bulek (fatrasky@yahoo.com)
Assalamualaikum Wr Wb Saya ucapkan terima kasih atas artikel yang telah sdr tampilkan mengenai Tugu Thomas Parr pada tanggal 25 April 2008. Apa yang telah diungkapkan (meskipun baru saya baca sejak dikirimkannya opini ini kepada sdr.) sejalan dengan kehendak hati saya dan sejujurnya sebagai orang yang terlahir dan dibesarkan di bengkulu bathin saya berontak dan menangis, melihat sisi kota Bengkulu yang seharusnya dijaga dan dipelihara.

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *