Pertemuan di DPRD Kota Bengkulu (RB) |
Sengketa
lahan antara keluarga Ujang Ali dengan satuan Brimobda Bengkulu kembali
berlanjut. Merasa terintimidasi, keluarga Ujang Ali meminta perlindungan
DPRD Kota Bengkulu sekaligus meminta DPRD Kota memfasilitasi
penyelesaian sengketa lahan tersebut.
Kedatangan Ujang Ali didampingi Yayasan
Lembak dan tokoh masyarakat setempat diterima Wakil Ketua I DPRD Kota
Bengkulu, Nurman Sohardi, SE dan dihadiri anggota DPRD Kota Sutardi, SH,
Nuharman, SH, Syamsul Azwar, SH, MH, Evi Permatasari, SH, MH dan dr.
Anarulita.
Sekadar mengingat, sengketa lahan Ujang
Ali sekaligus rumahnya yang diklaim Sat Brimob mencuat sejak September
2012. Pihak keluarga masih merasa terintimidasi secara psikis terlebih
setelah Ujang Ali dan anaknya yang sempat dilaporkan ke Polda Bengkulu.
Meskipun mediasi dan pertemuan telah beberapa kali digelar, namun
permasalahan tersebut belum memiliki titik temu.
Ketua Yayasan Lembak Usman Yasin
mengatakan, keluarga Ujang Ali memiliki sejumlah alat bukti kepemilikan
lahan berupa peta tahun 1952, surat keterangan kapolda tahun 1997 dan
hasil pengukuran BPN yang seluruhnya menyatakan luas lahan Ujang Ali
seluas 4 hektare. Untuk itu, Usman meminta BPN Kota tidak menerbitkan
sertifikat lahan yang diajukan Brimob sebelum sengketa tersebut selesai.
Usman menambahkan, tanah
yang dimiliki Ujang Ali ini merupakan tanah warisan orangtuanya yang
dikuasai sejak 1950an dan dikelola Ujang Ali sejak 1992. Tanah tersebut
dihibahkan pada 2002 dengan surat hibah dari orang tua Ujang Ali kepada
Ujang Ali yang diketahui kepala Kelurahan Semarang dan ditandatangani
oleh pihak yang berbatasan secara langsung. Sejak mendapat surat
keterangan hibah, Ujang Ali melakukan pengurusan pembayaran Pajak Bumi
Bangunan (PBB) sehingga 2003 hingga sekarang.
“Kemudian saat bapak Imam
Margono yang pada waktu itu menjabat Kasat Brimob Bengkulu, beliau
memberikan fotokopian peta meetbrief 1952 dan membuat surat keterangan
batas tanah dengan kesatuan Brimob yang ditandatangani oleh beberapa
orang yang tanahnya berbatasan langsung dengan lahan milik Brimob. Surat
ini sebagai pedoman dan pegangan jika terjadi sengketa dikemudian hari.
Akan tetapi, ketika pergantian kasat Brimob dan oknum Brimob lalu
mempersoalkan lahan Pak Ujang Ali. Ini ditandai dengan pemancangan batas
secara sepihak dari oknum,” papar Usman.
Lalu, sambung Usman, pada Rabu April
2012, Ujang Ali dipanggil untuk diperiksa dalam dugaan tindak pidana
penyeborotan tanah. Karena tidak mampu memberikan penjelasan dan rasa
takut, Ujang Ali yang tadi diperiksa dengan dugaan tindakan penyeborotan
tanah terpaksa menandatangani surat perjanjian damai dengan melakukan
pembagian tanah tersebut menjadi dua bagian.
Sebagian besar lahan seluas 2.643 m2
dikuasai oleh saudara Zainal Syah Bin Chaidir Anwar Daut (aparat
Brimob), sedangkan sebagian kecilnya dikuasai oleh Ujang Ali yakni
seluas 1012 m2. “Keterpaksaan ini karena rasa tertekan dan ketakutan
serta ketidakmampuan, maka tidak ada pilihan karena dibawah ancaman
terhadap tindak pidana penyerobotan tanah, akhirnya Ujang Ali
menandatangani surat tersebut dengan terpaksa,” ujar Usman
Setelah peristiwa tersebut, Ujang Ali
dan keluarganya mendatangi Yayasan Lembak untuk meminta perdampingan
karena merasa dizalimi. Berdasarkan permintaan tersebut, ujar Usman,
pihaknya mulai melakukan advokasi dan mengumpulkan semua dokumen yang
memungkinkan untuk didapat sebagai upaya membantu memfasilitasi
penyelesaian sengketa tersebut.
“Di tengah investigasi kami, akhirnya
mendapatkan sebuah surat keterangan dari Kapolda Bengkulu tertanggal 27
Januari 1997 yang menerangkan kalau luas lahan Brimob Bengkulu adalah
sekitar 4 hektare,” kata Usman.
Saat dilakukan pertemuan antara Ujang
Ali dengan Brimob serta pihak terkait, Usman mengaku telah mengonfirmasi
posisi lahan tersebut. Namun, pihaknya disodorkan peta lokasi yang
sudah dilakukan oleh BPN yang menyatakan lahan Ujang Ali berada di luar
lahan Brimob berdasarkan peta meet brief tahun 1952. “Artinya tidak ada
penyeborotan tanah yang dituduhkan terhadap Ujang Ali. Apalagi
keterangan yang kami peroleh dari beberapa tokoh masyarakat yang hadir
pada saat itu membenarkan jalan tersebut digunakan untuk menuju lokasi
pekuburan di belakang asrama Brimob. Saat ini jalan tersebut ditutup
oleh Brimob dan masuk lokasi pagar Brimob,” terang Usman.
Kemudian barulah diupayakan perdamaian
dengan pertemuan dilakukan di Kantor Lurah Semarang. Karena tidak ada
kesepakatan harga, maka pembebasan lahan tidak jadi dilakukan. “Karena
merasa tidak senang dan gagal bernegosiasi, maka oknum Brimob
mencari-cari kesalahan mempersoalkan hal yang timbul di lapangan saat
terjadinya eksekusi tidak prosedural beberapa waktu lalu,” ujar Usman.
Divisi Logistik Brimobda Rustomo S.Sos,I
yang mewakili Brimobda Bengkulu menyatakan, luas tanah milik Brimobda
Bengkulu adalah seluas 57.404 meter persegi yang di dalamnya termasuk
tanah Ujang Ali. “Memang dulu orang tua dari bapak Ujang Ali diberi izin
menggarap oleh Satbrimobda, dan sekarang tanah itu rencananya akan
dibangun asrama,” terang Rustomo yang mewakili Kasat Brimob Kombes Edi
Mardiaanto yang berhalangan hadir.
Menanggapi hal itu, Nurman mengatakan,
DPRD Kota Bengkulu menilai tanah Ujang Ali mempunyai dasar hukum yang
cukup kuat. Karena itu, Nurman meminta agar BPN jangan dulu menerbitkan
sertifikat lahan sebelum sengketa selesai. “Kesimpulannya apa yang
dipaparkan kedua belah pihak, hendaknya BPN jangan dulu menerbitkan
sertifikat lahan sebelum persoalan ini selesai. Dan kami (dewan) akan
sama-sama mengkaji lebih dalam terkait persoalan ini bersama eksekutif,”
kata Nurman. (new)
Berita terkait http://bengkuluekspress.com/sengketa-tanah-ditengahi-dewan/
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBerita Terkait, RRI Bengkulu http://rri.co.id/index.php/berita/56249/Warga-Laporkan-Upaya-Kriminalisasi-Oknum-Brimob-
BalasHapus