KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO/Kompas Images
Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin tiba di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (30/12), memenuhi panggilan tim penyidik untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merugikan negara Rp 21 miliar.
Rabu, 31 Desember 2008 | 00:24 WIB
Jakarta, Kompas - Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin diperiksa sebagai tersangka korupsi di Kejaksaan Agung, Selasa (30/12). Agusrin disangka korupsi penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di Provinsi Bengkulu.
Saat tiba di Gedung Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung, Agusrin kepada wartawan menyampaikan, ia berterima kasih telah diberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada Kejaksaan Agung. ”Wajar kalau Kejaksaan Agung melakukan klarifikasi berdasarkan aduan pihak tertentu. Mereka kan belum tentu melaporkan data yang valid,” katanya.
Agusrin mengaku tidak tahu kesalahannya sehingga disangka korupsi. ”Kalau dituduh korupsi, saya tidak pernah korupsi. Kalau dituduh ada uang negara yang hilang, sampai sekarang tidak ada uang negara yang hilang,” kata Agusrin.
Kemarin, Agusrin didampingi pengacara Muchlis Amin dari kantor pengacara Andi Sjarifuddin and Partners. Andi Sjarifuddin—pensiunan jaksa—juga hadir di Gedung Bundar saat pemeriksaan berlangsung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, menjawab pertanyaan wartawan, mengatakan, jaksa baru memperoleh izin dari Presiden untuk memeriksa Agusrin sebagai tersangka. Izin penahanan, menurut Marwan, belum diajukan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, pemeriksaan dan penahanan kepala daerah harus seizin presiden.
Mengenai bantahan Agusrin soal sangkaan korupsi terhadap dirinya, Marwan mengatakan, ”Soal dia tidak mengaku, bukan urusan kita. Tetapi, sebaiknya dia kembalikan uang yang sudah dia gunakan itu.”
Dari penyidikan tim jaksa yang diketuai Faried Haryanto ditemukan, pada tahun 2006 Provinsi Bengkulu memperoleh dana bagi hasil PBB dan BPHTB sebesar Rp 27,607 miliar. Dana itu seharusnya masuk ke rekening kas umum daerah pada Bank Pembangunan Daerah Bengkulu. Namun, pada 22 Maret 2006, Agusrin mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan tentang penambahan rekening pada BRI Cabang Bengkulu atas nama Dispenda Bengkulu.
Digunakan secara leluasa
Dana bagi hasil PBB dan BPHTB itu lalu disalurkan ke rekening khusus Pemerintah Provinsi Bengkulu atas nama Dispenda Bengkulu. Akibatnya, dana Rp 21,323 miliar dapat digunakan dengan leluasa oleh Chairudin selaku Kepala Dispenda Bengkulu. Dana itu, antara lain, untuk membiayai kegiatan yang belum dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bengkulu dan biaya-biaya lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk dana yang diberikan/diterima Agusrin melalui staf atau ajudannya, sebesar Rp 6 miliar.
Agusrin kemudian memerintahkan Badan Usaha Milik Daerah Bengkulu Mandiri untuk seolah-olah menanamkan modal di usaha tertentu. (idr)
Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin tiba di Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (30/12), memenuhi panggilan tim penyidik untuk diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi bagi hasil pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang merugikan negara Rp 21 miliar.
Rabu, 31 Desember 2008 | 00:24 WIB
Jakarta, Kompas - Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamuddin diperiksa sebagai tersangka korupsi di Kejaksaan Agung, Selasa (30/12). Agusrin disangka korupsi penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) di Provinsi Bengkulu.
Saat tiba di Gedung Bagian Tindak Pidana Khusus Kejagung, Agusrin kepada wartawan menyampaikan, ia berterima kasih telah diberikan kesempatan untuk menjelaskan kepada Kejaksaan Agung. ”Wajar kalau Kejaksaan Agung melakukan klarifikasi berdasarkan aduan pihak tertentu. Mereka kan belum tentu melaporkan data yang valid,” katanya.
Agusrin mengaku tidak tahu kesalahannya sehingga disangka korupsi. ”Kalau dituduh korupsi, saya tidak pernah korupsi. Kalau dituduh ada uang negara yang hilang, sampai sekarang tidak ada uang negara yang hilang,” kata Agusrin.
Kemarin, Agusrin didampingi pengacara Muchlis Amin dari kantor pengacara Andi Sjarifuddin and Partners. Andi Sjarifuddin—pensiunan jaksa—juga hadir di Gedung Bundar saat pemeriksaan berlangsung.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy, menjawab pertanyaan wartawan, mengatakan, jaksa baru memperoleh izin dari Presiden untuk memeriksa Agusrin sebagai tersangka. Izin penahanan, menurut Marwan, belum diajukan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, pemeriksaan dan penahanan kepala daerah harus seizin presiden.
Mengenai bantahan Agusrin soal sangkaan korupsi terhadap dirinya, Marwan mengatakan, ”Soal dia tidak mengaku, bukan urusan kita. Tetapi, sebaiknya dia kembalikan uang yang sudah dia gunakan itu.”
Dari penyidikan tim jaksa yang diketuai Faried Haryanto ditemukan, pada tahun 2006 Provinsi Bengkulu memperoleh dana bagi hasil PBB dan BPHTB sebesar Rp 27,607 miliar. Dana itu seharusnya masuk ke rekening kas umum daerah pada Bank Pembangunan Daerah Bengkulu. Namun, pada 22 Maret 2006, Agusrin mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan tentang penambahan rekening pada BRI Cabang Bengkulu atas nama Dispenda Bengkulu.
Digunakan secara leluasa
Dana bagi hasil PBB dan BPHTB itu lalu disalurkan ke rekening khusus Pemerintah Provinsi Bengkulu atas nama Dispenda Bengkulu. Akibatnya, dana Rp 21,323 miliar dapat digunakan dengan leluasa oleh Chairudin selaku Kepala Dispenda Bengkulu. Dana itu, antara lain, untuk membiayai kegiatan yang belum dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bengkulu dan biaya-biaya lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, termasuk dana yang diberikan/diterima Agusrin melalui staf atau ajudannya, sebesar Rp 6 miliar.
Agusrin kemudian memerintahkan Badan Usaha Milik Daerah Bengkulu Mandiri untuk seolah-olah menanamkan modal di usaha tertentu. (idr)