Yayasan Lembak

Yayasan Lembak adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang dibangun atas dasar keinginan memperjuangkan Hak-hak adat masyarakat Suku Lembak pada tahun 1999, karena ranah perjuangan yang bersentuhan dengan kasus-kasus lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang pada akhirnya persoalan mengarah pada kebijakan maka akhirnya Yayasan Lembak juga konsen pada persoalan semua nasib kaum tertindas dan dimarginalkan. Persoalan yang muncul yang dialami masyarakat juga disebabkan kasus-kasus Korupsi anggaran APBD dan APBN, akhirnya Yayasan Lembak juga berada pada Garda Depan melakukan perlawan terhadap kasus-kasus Korupsi, sebuah Gerakan yang pernah digagas oleh pendiri sekaligus ketua Yayasan Lembak, yaitu dengan Gagasan Gerakan 1.000.000 Facebookers dukung Bitchan, yang menjadi trent topik dimedia massa dan dunia maya. Ayo dukung terus berlanjut aktivitas perjalanan Yayasan Lembak Bengkulu. Semoga informasi ini bermanfaat untuk kita semua, Terimakasih.

Selasa, 03 Juni 2008

Kacaunya Administrasi Kependudukan: Beribadah Jalan, Kolusi Jalan

Pasrah dan kecewa. Itulah yang hanya bisa dirasakan 143 Calon Jemaah Haji (CJH) yang berdomisili tetap di Kota Bengkulu. Harapan warga untuk berangkat menunaikan ibadah haji menggantikan calon jemaah haji (CJH) dari luar kota dipastikan batal. Pasalnya, Walikota H. Ahmad Kanedi, SH, MH menolak membatalkan KTP CJH dari luar daerah tersebut (Calon pasti punya KTP luar daerah dan Bikin Satu KTP Kota untuk mendaftarkan sebagai CJH). Menurut Walikota, pembatalan KTP bisa melanggar hukum. Sehingga, harus hati-hati. Pihaknya tetap mengeluarkan SK waiting list. Hati-hati membatalkan KTP orang, bisa melanggar hukum, jawab Walikota.

Mungkin Pak Wali Kota Bengkulu Belum Membaca UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, pasal 63 Ayat 6 yang berbunyi Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP dan tentunya Pasal 93 yang berbunyi: Setiap Penduduk yang dengan sengaja memalsukan surat dan/atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah dan pasal Pasal 97: Setiap Penduduk yang dengan sengaja mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari satu KK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari satu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.25.000.000.00 (dua puluh lima juta rupiah). (Selengkapnya UU No. 23 Tahun 2006)

Berdasarkan UU No 23 Tahun 2006 tersebut jelas-jelas bahwa calon jemaah haji yang berasal dari luar Kota Bengkulu atau Luar Provinsi Bengkulu dapat kita permasalahkan tentang keabsahan identitasnya, karena diduga memilik identitas ganda, dan diduga pada saat melakukan pengurusan KTP memberikan informasi tidak valid atau diduga melakukan pemalsuan data, karena tidak berdomisili di Kota Bengkulu. Mencermati aturan ini, semestinya sebelum terjadi permasalahan lebih pelik, ada upaya-upaya penyelesaian secara elegan dan tidak merugikan Calon Jemaah Haji yang betul-betul berdomisili di Kota Bengkulu. Apalagi dari berita-berita Harian Rakyat Bengkulu beberapa waktu yang lalu, terungkap bahwa CJH tersebut membuat KTP Unprosedural (tidak prosedural).

Dari pantauan Harian Rakyat Bengkulu, sejumlah CJH mulai berdatangan menanyakan informasi kepastian berangkat. Mereka hanya terlihat luyu mendapati penjelasan pihak Kandepag Kota. Sebab, dengan pendaftar haji hingga 1.500 CJH, sementara kuota-nya hanya 305 orang, kesempatan warga kota berangkathaji sangat tipis sekali. Apalagi, jatah untuk warga kota sudah direbut CJH asal luar. Cakmano kami ko pak, makin tuo makin litak. Ngapo pak Wali nggak nyoretnyo, keluhan terdengar dari para CJH asal kota.

Sebelumnya Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Agama (Depag) Provinsi telah menyatakan terang-terangan, sistem waiting list itu tidak berlaku. Bagi Kanwil Depag, waiting list itu hanya termasuk mengundurkan diri, belum cukup usia 17 tahun dan pernah haji. Jika memang ingin memprioritaskan warga kota, maka KTP CJH asal luar harus dibatalkan. Sebab, secara otomatis syarat pendaftaran haji 143 CJH asal luar tadi, batal dengan sendirinya.

Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kota, Syaiful Anwar, SE menyayangkan sikap Walikota. Jika memang satu-satunya jalan harus pembatalan KTP, semestinya segera membatalkan. Sekaligus mempertegas posisi CJH kota untuk bisa berangkat atau tidak. Kalau memang mau memprioritaskan calon jemaah haji asal kota, ya.. harus dicabut. Kanwil Depag memang hanya memproses pelaksanan haji. Jika tidak, tidak bisa berangkat, kata dosen Universitas Bengkulu ini.

Mencari Solusi

Polemik Soal CJH di Bengkulu ini, menggambarkan kepada kita betapa sesungguhnya negeri ini tidak pernah serius menangani hal-hal yang bersifat mendasar dalam rangka perencanaan pembangunan, karena data penduduk atau administrasi kependudukan adalah data awal yang akan menentukan perencanaan selanjutnya.

Jika data yang dimiliki amboradul, maka kita tidak bisa berharap banyak, sehingga akan timbul data-data majik (sulapan atau sim salabim), ya tentunya tergantung kebutuhan dan kondisi ini pasti akan menciptakan peluang kolusi dan korupsi. Betapa tidak ketika ingin mengentaskan kemiskinan, ketika ingin membiaya pendidikan, ketika ingin mengatasi masalah kesehatan, ketika menghadapi bencana, ketika pemberangkatan haji seperti saat ini, maka data kependudukan semestinya menjadi acuan.

Jika mimpi kita terwujud dengan adanya SIN atau Singel Identity Number, maka kekisruhan tidak akan terjadi sebab orang tidak akan memiliki identitas yang kembar, Akibatnya dengan gampang seseorang memiliki KTP aspal (asli tapi palsu) untuk mendapatkan jatah kursi pencalonan haji ditempat yang mereka sendiri tidak pernah berdomisili. Hal ini akan membuka peluang manipulasi data yang ujung-ujung pasti persoalan duit, kolusi, korupsi dan nepotisme. Ternyata bangsa ini, pemerintah kita memang selalu memanfaatkan celah pelaksanaan UU untuk mencari tambahan atau ngobyek.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebenarnya telah memandu kita untuk membuat sistem administrasi kependudukan dengan benar, akan tetapi karena memang pintar mencari celah, jadilah KTP-KTP aspal dapat digunakan untuk beribadah sekalipun. Rupanya pada saat orang beribadahpun, masih ada peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Inilah yang terjadi, ya seperti acara di salah satu Stasiun TV saja, Ini Nyata dan Hanya Terjadi Di Indonesia.

Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.

0 comments:

Posting Komentar

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *