Yayasan Lembak

Yayasan Lembak adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang dibangun atas dasar keinginan memperjuangkan Hak-hak adat masyarakat Suku Lembak pada tahun 1999, karena ranah perjuangan yang bersentuhan dengan kasus-kasus lingkungan hidup dan sumberdaya alam yang pada akhirnya persoalan mengarah pada kebijakan maka akhirnya Yayasan Lembak juga konsen pada persoalan semua nasib kaum tertindas dan dimarginalkan. Persoalan yang muncul yang dialami masyarakat juga disebabkan kasus-kasus Korupsi anggaran APBD dan APBN, akhirnya Yayasan Lembak juga berada pada Garda Depan melakukan perlawan terhadap kasus-kasus Korupsi, sebuah Gerakan yang pernah digagas oleh pendiri sekaligus ketua Yayasan Lembak, yaitu dengan Gagasan Gerakan 1.000.000 Facebookers dukung Bitchan, yang menjadi trent topik dimedia massa dan dunia maya. Ayo dukung terus berlanjut aktivitas perjalanan Yayasan Lembak Bengkulu. Semoga informasi ini bermanfaat untuk kita semua, Terimakasih.

Minggu, 01 Juni 2008

Dua Tahun Penderiataan Rakyat Sidoarjo: Potret Gagalnya Pemerintah SBY & JK

Tanggal 29 Mei 2008, genap dua tahun bencana semburan lumpur dari lapangan gas milik Aburizal Bakrie, Lapindo Brantas Inc di Sidoarjo, Jawa Timur, berlangsung. Hingga sekarang, semburan lumpur belum juga terhenti dan luapan lumpur yang mengancam permukiman warga juga semakin luas. Setelah dua tahun berlalu, penyelesaian masalah sosial dan ganti rugi kepada warga juga masih jauh dari selesai. Banyak korban lumpur yang berada di pengungsian. Infrastruktur masih lumpuh. Pembayaran 20 persen uang muka bagi korban yang memilih pola ganti rugi cash and carry saja sampai kini belum tuntas.

Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), 80 % sisanya pembayaran cash and carry semestinya sudah harus dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis.

Selain itu, belum ada penyelesaian terhadap mereka yang menolak skema ”jual beli” (cash and carry) atau resettlement yang ditawarkan oleh Lapindo. Termasuk di sini adalah mereka yang hingga sekarang masih bertahan di Pasar Baru Porong, yang berjumlah sekitar 2.000 orang dan mereka yang sertifikat tanah atau rumahnya tak bisa di-AJB (akta jual beli)-kan.

Dua tahun sudah bencana lumpur Lapindo menjadi gambaran bagaimana pengelolaan negara ini dijalankan, mungkin begitulah cara para petinggi negara ini menyelesaikan persoalan. Krisis dan penderitaan yang dihadapi warganya, silih berganti tetapi sampai saat ini belum bisa tertangani. Apakah mungkin kita masih bisa berharap pada pemerintah saat ini untuk meneruskan komando untuk mengurus negara? Pemerintah seperti tutup mata dan telinga pada apa yang terjadi. Apakah mereka sanggub untuk berjibaku mengatasi persoalan yang lebih besar? Terutama kemiskinan dan kebodohan? Entah lah? PANTASKAH MEREKA INGIN MENCALONKAN KEMBALI? Jawabnya kita tunggu pada 2009 yang akan datang. Kami berpikir harus ada alternatif pemimpin muda yang visioner. Tidak untuk SBY dan Tidak untuk Yusuf Kalla, mereka telah gagal!

Kelambanan tidak hanya terjadi dalam penanganan para korban di area terdampak, tetapi juga dalam penanganan dampak pada warga 12 desa di luar peta terdampak yang menurut Perpres No 14 Tahun 2007 tidak termasuk dalam wilayah tanggung jawab PT Lapindo. Ya mungkin masyarakat harus pasrah dari ketertindasan, kekerasan dan kekejaman negara? Sang pemilik PT Lapindopun tidak satupun yang bertanggungjawab, mungkin petinggi negara ini sungkan karena besarnya sumbangan kampanye pada 2004 yang lalu, kalau negara memang tidak mau dan mampu memberi hukuman, Rakyatlah yang semestinya menghukum mereka. Caranya? Ya jangan kita pilih pada 2009 yang akan datang.

Hingga sekarang, tidak ada tanda-tanda pemerintah akan menyatakan tempat itu sebagai daerah berbahaya dan melakukan upaya evakuasi terhadap warga.

Kelambanan dan kegagapan pemerintah yang terlihat sejak awal semburan, menurut banyak kalangan, terjadi bukan hanya akibat lemahnya manajemen pemerintah, tetapi juga karena kurangnya kepedulian dan kemauan politik pemerintah.

Dari aspek hukum, hingga sekarang proses hukum kasus ini belum juga jelas, sementara para pakar justru sibuk bersilang pendapat sendiri mengenai penyebab semburan.

Anehnya, meski belum lagi ada keputusan apakah Lapindo bersalah atau tidak, pemerintah sudah mengeluarkan perpres yang menyebutkan batasan area yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo, dan di luar itu menjadi tanggung jawab negara dengan biaya dibebankan pada APBN.

Salah satu pertanyaan yang belum terjawab hingga sekarang adalah mengapa pemerintah atau Perpres No 14/2007 memilih penyelesaian masalah PT Lapindo dengan warga lewat pola transaksi jual beli dan bukannya mekanisme ganti rugi. Dua hal ini jelas sangat berbeda karena pola jual beli menghilangkan hak warga korban akan ganti rugi di luar hilangnya tanah/rumah, termasuk kerugian akibat hilangnya pekerjaan, ikatan sosial dan lingkungan tempat tinggal, hilangnya masa depan, dan sebagainya.

Tidak ada satu klausul pun dalam perpres yang menyebut sanksi jika Lapindo atau pihak lain ingkar janji. Untuk wilayah di luar peta terdampak, setelah diputuskan menjadi tanggung jawab pemerintah, warga yang jadi korban tak juga tertangani. Warga di 12 desa masih berjuang untuk mendapat ganti rugi dan sampai sekarang masih bertahan di tempat tinggalnya yang sebenarnya sangat berbahaya.

Dalam kasus semburan lumpur, pihak yudikatif dan legislatif sudah jelas memperkuat posisi PT Lapindo. Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo DPR sudah menyatakan semburan lumpur sebagai fenomena alam. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga menyatakan, semburan akibat gempa bumi Yogyakarta.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sendiri sudah memenangkan PT Lapindo dalam kasus gugatan perdata yang diajukan Walhi. Pengadilan yang sama juga memenangkan Lapindo dalam gugatan melawan YLBHI dalam kasus ini.

Dalam permohonan hak uji materiil perkara ke Mahkamah Agung (MA), Lapindo lagi-lagi juga dimenangkan. Dengan putusan MA ini, menurut Yuniwati, Perpres No 14/2007 yang membatasi tanggung jawab Lapindo pada area terdampak tidak bisa direvisi selamanya.

Dalam penanganan masalah sosial, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Provinsi Jawa Timur sendiri ibaratnya sudah menyatakan angkat tangan, sementara pemerintah pusat juga sangat tidak tegas dan tak sigap.

Pihak-pihak yang semestinya ikut bertanggung jawab juga seperti sepakat bungkam semua, termasuk BP Migas. (TAT)

Dari berbagai sumber termasuk Kompas, Jumat, 23 Mei 2008 | 00:24 WIB

0 comments:

Posting Komentar

Saran - Pendapat - Pesan

Nama

Email *

Pesan *