Pesan Untuk Calon Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota
Oleh:
Usman Yassin, Ir. M.S (Lektor Kepala pada Universitas Muhammadiyah
Bengkulu;Ketua Yayasan Lembak)
LATAR BELAKANG
Dinamika demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari beberapa indikator keberhasilan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Hal ini menggambarkan adanya loncatan besar dalam kehidupan demokrasi. Perkembangaan terakhir yaitu pemilihan langsung pilkada sejak Juni 2005. Tidak dipungkiri masih banyak masalah, namun tidak menafikan perkembangan demokrasi saat ini dan ada harapan lebih baik di masa datang.
Keberhasilan pemilu tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya. Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan sebuah organisasi yang profesional, kredibel dan akuntabel. Jika tidak dilakukan secara profesional, maka akan sulit terwujud sebuah fair election.
Dengan disyahkanya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang merupakan penyempurnaan dari aturan terdahulu sehingga ada UU tersendiri yang lebih komprehensif, maka pemilu memiliki harapan lebih baik. Secara substantif pemilu di Indonesia sudah mengarah pada proses demokrasi yang lebih berkualitas, tetapi banyaknya kepentingan dan celah dalam peraturan perundangan, masih ada keberpihakan penyelenggara pemilu bahkan keputusan pihak pengadilan yang kadang dirasa tidak adil, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama pilkada, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan pemilu terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan pemilu, terutama dalam pilkada secara langsung.
PENYELENGGARA PEMILU
Pemilu secara langsung adalah wujud kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud jika dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Dalam Undang-Undang No 22/2007 diatur mengenai penyelenggara pemilu oleh KPU, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meski dibatasi masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam pemilu, bebas dari pengaruh pihak manapun.
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara pemilu yang permanen dalam menjalankan tugas bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPU memberikan laporan pada DPR dan Presiden. UU No. 22/2007 juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc.
Dalam pemilu, diperlukan pengawasan untuk menjamin agar pemilu benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilu dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi KPU, UU No 22/2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan Panwaslu Luar Negeri. Pembentukan Panwaslu tidak dimaksudkan mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Adanya KPU yang profesional membutuhkan Sekjen di tingkat pusat dan sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu teknis administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Untuk membantu lancarnya tugas-tugas KPU, juga dapat diangkat tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekjen KPU.
Untuk mewujudkan KPU dan Bawaslu yang punya integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik dapat diterapkan, maka dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 juga mengamanatkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan oleh KPU dan Bawaslu.
PERMASALAHAN
Dari pengalaman pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wapres, ditambah pilkada, teridentifikasi banyak timbul permasalahan yang berpotensi konflik. Konflik yang paling tajam justru terjadi pada pilkada.
Munculnya konflik saat pilkada memang sudah diprediksi sebelumnya. Rentang daerah pemilihan yang pendek dan terbatas memungkinkan lebih mudahnya terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada intensitas konflik tajam. Di dalam pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian juga jarak antara pendukung satu dengan lainnya. Konsekuensinya, emosi mereka menjadi lebih kuat dan karenanya lebih sulit dikendalikan manakala masing-masing berusaha memaksakan diri sebagai pemenang.
Selain itu, UU yang mengatur pilkada langsung juga memiliki cela bagi lahirnya konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu pencalonan di dalam pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik (alternatif calon independen masih menunggu amandemen terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah). Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh-tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik tetapi tidak berafiliasi kepada partai tertentu.
Jika dilihat dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu memang tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam pendekatan demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari para konstituennya. Masalahnya, akhir-akhir ini, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami degradasi, dan dipandang tidak cukup refresentatif berbuat untuk rakyat, malah melakukan manipulasi. Partai politik, dalam situasi demikian, tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya lembaga yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
Di sisi lain, dalam melakukan penyaringan terhadap pasangan calon yang akan diajukan, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai politik di dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagaimana dikehendaki para konstituennya.
Di dalam Pilkada, partai politik yang seharusnya berperan, acapkali dalam menetapkan pasangan calon kadang tidak berbanding lurus dengan kehendak para konstituennya. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan oleh partai bukan saja tokoh yang selama ini dekat partai, melainkan orang-orang yang membangun patronase dengan imbalan materi kepada pucuk-pucuk pimpinan partai. Di sini, mekanisme tidak jalan. Implikasinya, pasangan calon yang diajukan partai politik tidak selalu selaras dengan keinginan konstituen. Munculnya demonstrasi di sejumlah daerah yang menolak pasangan calon dari partai tertentu merupakan refpleksi dari realitas ini.
Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan calon sebagai salah satu potensi yang menyulut konflik, akan lebih tajam manakala di dalam partai politik itu juga terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam menghadapi masalah seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai yang sudah terdaftar di KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Hanya saja, masalahnya konflik internal partai di daerah acapkali berkaitan dengan konflik internal di DPP.
Kadang, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak kasus, sama-sama memiliki relasi kuat dengan akar rumput. Di dalam kondisi demikian, masing-masing elite politik yang berkonflik berusaha menggeret massa pendukungnya, sebagai upaya show of forces bahwa mereka memiliki pendukung yang kuat. Implikasinya, konflik menjadi lebih terbuka lalu lebih sulit dihindarkan, karena sama-sama memperalat massa akar rumput yang tidak kecil. Dalam hal ini para elit justru menjadi penstimulasi konflik.
Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia, termasuk di daerah yang majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik sosial dan politik yang pernah terjadi, tidak lepas dari kemajemukan seperti ini.
Undang-undang nomor 22/ 2007 tentang penyelenggara pemilu telah berusaha mereduksi semua kelemahan yang terdapat pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi potensi konflik-konflik masih tetap muncul. Hal ni menggambarkan betapa sesungguhnya peluang konflik masih saja akan terjadi, untuk itu independensi, kompetensi, integritas, dan profesionalisme penyelenggara pemilu menjadi kunci utama berhasilnya pelaksanaan pemilihan umum secara demokratis.
PEMBAHASAN
Berangkat dari realitas diatas paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam Pilkada. Pertama adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik bersumber dari black campaign antar pasangan calon. Ketiga, konflik bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik bersumber pada manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Terakhir adalah konflik bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada.
Secara politik, munculnya konflik memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya pilkada secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik yang disertai aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya kelembagaan di dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung. Terdapatnya konflik yang menjurus pada munculnya aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari adanya budaya politik masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada integratif. Dalam situasi seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat bukan semata-mata karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan yang berbeda. Manakala pilihan itu didasarkan pada kutub ‘kita’ dan ‘mereka’, dan disertai ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga penengah, benturan-benturan antara kelompok tidak bisa lagi dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah pada aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada lembaga penengah (termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440 kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data pemilih, (2) persyaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal parpol terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya dugaan money politic, (6) pelanggaran terhadap rambu-rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7) penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus Sulawesi Selatan putusan lembaga peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilai uang cukup besar bagi para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada. Ketika tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik.
Antisipasi terhadap konflik pilkada juga harus memerhatikan reformasi birokrasi sebagai salah satu langkah secara gradual dalam pengelolaan konflik. Jika mekanisme hukum ditegakkan dan penindakan terhadap kasus-kasus KKN dilakukan untuk melaksanakan good governance, secara perlahan ajang pilkada tidak lagi diperebutkan sebagai sarana mendapatkan keuntungan materi dan politik bagi para aktornya, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterakan rakyat. Maka, hanya kalangan yang berkomitmen tinggi yang akan memasuki arena pilkada. Sementara kekalahan yang dialami, karena tidak menyertakan jumlah materi yang besar, tidak akan menghasilkan konflik berkepanjangan.
Antisipasi terhadap konflik yang destruktif dalam pilkada harus mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat sebagai salah satu dimensi pengelolaan konflik. Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk mentransformasikan konflik politik.
Kemampuan elemen masyarakat membuka saluran-saluran komunikasi untuk melihat setiap persoalan yang muncul berguna untuk mengatalisasi konflik. Ketika persoalan muncul, pertimbangan rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan. Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite yang akan mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.
Ketika pengelolaan konflik telah dipertimbangkan matang dengan melibatkan komunikasi antara elemen masyarakat sipil, politisi, pemerintahan, dan pelaku ekonomi, perhelatan pilkada akan berlangsung dengan damai dan dinamis tanpa mengorbankan stabilitas politik di daerah.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus memperhatikan hal berikut: Pertama, adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang, tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.
Kedua, Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.
Ketiga, Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut.
Keempat, Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
Kelima, Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan bersama.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan memang menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai acuan dan regulasi penyelenggara pemilu (KPU) melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Hal ini sangat diperlukan karena sebagai salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Tanpa organisasi penyelenggara pemilu yang independen, kredibel, Akuntabel dan profesional menjadi mustahil untuk mencapai cita-cita demokrasi mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, tetapi malah memicu terjadinya konflik.
Oleh:
Usman Yassin, Ir. M.S (Lektor Kepala pada Universitas Muhammadiyah
Bengkulu;Ketua Yayasan Lembak)
LATAR BELAKANG
Dinamika demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terlihat dari beberapa indikator keberhasilan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung. Hal ini menggambarkan adanya loncatan besar dalam kehidupan demokrasi. Perkembangaan terakhir yaitu pemilihan langsung pilkada sejak Juni 2005. Tidak dipungkiri masih banyak masalah, namun tidak menafikan perkembangan demokrasi saat ini dan ada harapan lebih baik di masa datang.
Keberhasilan pemilu tidak lepas dari organisasi penyelenggaranya. Pelaksanaan pemilu secara langsung membutuhkan sebuah organisasi yang profesional, kredibel dan akuntabel. Jika tidak dilakukan secara profesional, maka akan sulit terwujud sebuah fair election.
Dengan disyahkanya UU No. 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang merupakan penyempurnaan dari aturan terdahulu sehingga ada UU tersendiri yang lebih komprehensif, maka pemilu memiliki harapan lebih baik. Secara substantif pemilu di Indonesia sudah mengarah pada proses demokrasi yang lebih berkualitas, tetapi banyaknya kepentingan dan celah dalam peraturan perundangan, masih ada keberpihakan penyelenggara pemilu bahkan keputusan pihak pengadilan yang kadang dirasa tidak adil, kondisi ini masih berpotensi menimbulkan konflik.
Untuk mengatasi dan mengkaji adanya potensi konflik dalam pemilu terutama pilkada, maka perlu dilakukan upaya-upaya untuk mereduksi konflik dengan melakukan pengkajian, identifikasi, analisis dan solusi pemecahannya sedini mungkin.
Tulisan ini mencoba mengkaji beberapa kendala dalam penyelenggaraan pemilu terutama sebagai solusi untuk mencegah terjadinya konflik dalam pelaksanaan pemilu, terutama dalam pilkada secara langsung.
PENYELENGGARA PEMILU
Pemilu secara langsung adalah wujud kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan demokratis. Penyelenggaraan pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dapat terwujud jika dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas.
Dalam Undang-Undang No 22/2007 diatur mengenai penyelenggara pemilu oleh KPU, yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan meski dibatasi masa jabatan tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam pemilu, bebas dari pengaruh pihak manapun.
KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai penyelenggara pemilu yang permanen dalam menjalankan tugas bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. KPU memberikan laporan pada DPR dan Presiden. UU No. 22/2007 juga mengatur pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc.
Dalam pemilu, diperlukan pengawasan untuk menjamin agar pemilu benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilu dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi KPU, UU No 22/2007 mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang dilakukan oleh Bawaslu serta Panwaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Lapangan, dan Panwaslu Luar Negeri. Pembentukan Panwaslu tidak dimaksudkan mengurangi kemandirian dan kewenangan KPU sebagai penyelenggara pemilu.
Adanya KPU yang profesional membutuhkan Sekjen di tingkat pusat dan sekretariat KPU Provinsi dan sekretariat KPU Kabupaten/Kota di daerah sebagai lembaga pendukung yang profesional dengan tugas utama membantu teknis administratif, termasuk pengelolaan anggaran. Untuk membantu lancarnya tugas-tugas KPU, juga dapat diangkat tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan dan berada di bawah koordinasi Sekjen KPU.
Untuk mewujudkan KPU dan Bawaslu yang punya integritas dan kredibilitas sebagai Penyelenggara Pemilu, disusun dan ditetapkan Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Agar Kode Etik dapat diterapkan, maka dibentuk Dewan Kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemilu, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 juga mengamanatkan agar Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan bantuan dan fasilitas yang diperlukan oleh KPU dan Bawaslu.
PERMASALAHAN
Dari pengalaman pemilu, baik pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Presiden dan Wapres, ditambah pilkada, teridentifikasi banyak timbul permasalahan yang berpotensi konflik. Konflik yang paling tajam justru terjadi pada pilkada.
Munculnya konflik saat pilkada memang sudah diprediksi sebelumnya. Rentang daerah pemilihan yang pendek dan terbatas memungkinkan lebih mudahnya terjadi akumulasi perbedaan yang berujung pada intensitas konflik tajam. Di dalam pilkada, jarak antara pasangan calon dengan pendukungnya sangat dekat. Demikian juga jarak antara pendukung satu dengan lainnya. Konsekuensinya, emosi mereka menjadi lebih kuat dan karenanya lebih sulit dikendalikan manakala masing-masing berusaha memaksakan diri sebagai pemenang.
Selain itu, UU yang mengatur pilkada langsung juga memiliki cela bagi lahirnya konflik politik yang menjurus ke arah kekerasan. Misalnya, pintu pencalonan di dalam pilkada hanya melalui partai politik atau gabungan dari partai politik (alternatif calon independen masih menunggu amandemen terbatas UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah). Aturan demikian hanya memungkinkan tokoh-tokoh yang dekat dengan partai politik saja yang bisa menjadi calon. Padahal, di banyak daerah ditemui tokoh-tokoh lokal yang popular dan dipandang memiliki kualifikasi cukup baik tetapi tidak berafiliasi kepada partai tertentu.
Jika dilihat dari sisi pendekatan kelembagaan semata, aturan seperti itu memang tidak bermasalah dan memiliki argumen yang kuat. Partai politik, di dalam pendekatan demikian, dipandang sebagai instrumen dari masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan dari para konstituennya. Masalahnya, akhir-akhir ini, tingkat kepercayaan rakyat terhadap partai politik mengalami degradasi, dan dipandang tidak cukup refresentatif berbuat untuk rakyat, malah melakukan manipulasi. Partai politik, dalam situasi demikian, tidak bisa lagi mengklaim sebagai satu-satunya lembaga yang memperjuangkan kepentingan-kepentingan rakyat.
Di sisi lain, dalam melakukan penyaringan terhadap pasangan calon yang akan diajukan, partai politik tidak jarang melakukannya secara tidak transparan. Partai politik di dalam situasi demikian, lalu tidak bisa menjalankan peran sebagaimana dikehendaki para konstituennya.
Di dalam Pilkada, partai politik yang seharusnya berperan, acapkali dalam menetapkan pasangan calon kadang tidak berbanding lurus dengan kehendak para konstituennya. Dalam beberapa kasus, yang dicalonkan oleh partai bukan saja tokoh yang selama ini dekat partai, melainkan orang-orang yang membangun patronase dengan imbalan materi kepada pucuk-pucuk pimpinan partai. Di sini, mekanisme tidak jalan. Implikasinya, pasangan calon yang diajukan partai politik tidak selalu selaras dengan keinginan konstituen. Munculnya demonstrasi di sejumlah daerah yang menolak pasangan calon dari partai tertentu merupakan refpleksi dari realitas ini.
Adanya otoritas partai politik yang besar di dalam memutuskan pasangan calon sebagai salah satu potensi yang menyulut konflik, akan lebih tajam manakala di dalam partai politik itu juga terdapat konflik internal berkepanjangan. Di dalam menghadapi masalah seperti ini yang menjadi rujukan adalah kepengurusan partai yang sudah terdaftar di KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota. Hanya saja, masalahnya konflik internal partai di daerah acapkali berkaitan dengan konflik internal di DPP.
Kadang, pengelola partai yang terlibat di dalam konflik itu, dalam banyak kasus, sama-sama memiliki relasi kuat dengan akar rumput. Di dalam kondisi demikian, masing-masing elite politik yang berkonflik berusaha menggeret massa pendukungnya, sebagai upaya show of forces bahwa mereka memiliki pendukung yang kuat. Implikasinya, konflik menjadi lebih terbuka lalu lebih sulit dihindarkan, karena sama-sama memperalat massa akar rumput yang tidak kecil. Dalam hal ini para elit justru menjadi penstimulasi konflik.
Di samping itu, kondisi masyarakat Indonesia, termasuk di daerah yang majemuk, baik secara vertikal maupun horisontal. Sejarah mencatat bahwa konflik-konflik sosial dan politik yang pernah terjadi, tidak lepas dari kemajemukan seperti ini.
Undang-undang nomor 22/ 2007 tentang penyelenggara pemilu telah berusaha mereduksi semua kelemahan yang terdapat pada pelaksanaan pemilu, akan tetapi potensi konflik-konflik masih tetap muncul. Hal ni menggambarkan betapa sesungguhnya peluang konflik masih saja akan terjadi, untuk itu independensi, kompetensi, integritas, dan profesionalisme penyelenggara pemilu menjadi kunci utama berhasilnya pelaksanaan pemilihan umum secara demokratis.
PEMBAHASAN
Berangkat dari realitas diatas paling tidak terdapat lima sumber potensial yang dapat memicu konflik di dalam Pilkada. Pertama adalah konflik yang bersumber dari mobilisasi atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik bersumber dari black campaign antar pasangan calon. Ketiga, konflik bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik bersumber pada manipulasi dan kecurangan penghitungan suara hasil Pilkada. Terakhir adalah konflik bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggaraan Pilkada.
Secara politik, munculnya konflik memang wajar saja terjadi. Di setiap usaha memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan tidak lepas dari konflik. Adanya pilkada secara langsung merupakan mekanisme untuk mengelola konflik agar tidak menjurus kepada aksi kekerasan. Karena itu, masih menguatnya intensitas konflik yang disertai aksi kekerasan, memperlihatkan masih belum kuatnya kelembagaan di dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung. Terdapatnya konflik yang menjurus pada munculnya aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari adanya budaya politik masyarakat yang masih bernuansa konfliktual daripada integratif. Dalam situasi seperti ini, intensitas perilaku konflik itu cenderung meningkat bukan semata-mata karena aspek kelembagaan, melainkan karena pilihan-pilihan yang berbeda. Manakala pilihan itu didasarkan pada kutub ‘kita’ dan ‘mereka’, dan disertai ketidakpercayaan kepada lembaga-lembaga penengah, benturan-benturan antara kelompok tidak bisa lagi dielakkan. Hanya saja, arus massa yang mengarah pada aksi kekerasan itu juga tidak lepas dari elite politik yang memiliki kepentingan langsung di dalam Pilkada. Di Kabupaten Kaur, misalnya, munculnya aksi kekerasan itu tidak lepas dari sikap yang tidak mau menerima kekalahan serta ketidakkepercayaan pada lembaga penengah (termasuk di dalamnya adalah MA atau PT) dari pasangan calon.
Sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilaksanakan pilkada di 285 dari 440 kabupaten/kota dan di 15 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari identifikasi empiris penyelenggaraan pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu: (1) tidak akuratnya data pemilih, (2) persyaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap, (3) permasalahan internal parpol terhadap penetapan pasangan calon, (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon, (5) adanya dugaan money politic, (6) pelanggaran terhadap rambu-rampu penyelenggaraan Pilkada, dan (7) penghitungan suara yang tidak akurat. Ketujuh hal ini perlu diantisipasi agar pilkada mampu menghasilkan pemimpin yang dipilih secara demokratis. Terakhir pada kasus Sulawesi Selatan putusan lembaga peradilan juga berpotensi menyebab timbulnya konflik.
Salah satu penyebab konflik politik dapat berkembang menjadi anarkis adalah jabatan kepala daerah sebagai pimpinan birokrasi di daerah tersebut menjanjikan keuntungan ekonomi dan politik yang besar bagi mereka yang memenangi kontes pilkada. Institusi birokrasi selama ini dipandang sebagai tempat amat strategis bagi para kepala daerah untuk membangun konsesi ekonomi-politik dan praktik-praktik KKN bernilai uang cukup besar bagi para aparatus daerah. Maka, tidak mengherankan apabila momentum pilkada disambut antusias para politisi, dengan para donatur di belakangnya yang berani mempertaruhkan jumlah uang cukup besar untuk memenangi ajang pilkada. Ketika tidak terpilih, tidak mengherankan mereka akan mendorong massa pendukungnya melakukan protes yang menyulut konflik.
Antisipasi terhadap konflik pilkada juga harus memerhatikan reformasi birokrasi sebagai salah satu langkah secara gradual dalam pengelolaan konflik. Jika mekanisme hukum ditegakkan dan penindakan terhadap kasus-kasus KKN dilakukan untuk melaksanakan good governance, secara perlahan ajang pilkada tidak lagi diperebutkan sebagai sarana mendapatkan keuntungan materi dan politik bagi para aktornya, namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterakan rakyat. Maka, hanya kalangan yang berkomitmen tinggi yang akan memasuki arena pilkada. Sementara kekalahan yang dialami, karena tidak menyertakan jumlah materi yang besar, tidak akan menghasilkan konflik berkepanjangan.
Antisipasi terhadap konflik yang destruktif dalam pilkada harus mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat sebagai salah satu dimensi pengelolaan konflik. Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk mentransformasikan konflik politik.
Kemampuan elemen masyarakat membuka saluran-saluran komunikasi untuk melihat setiap persoalan yang muncul berguna untuk mengatalisasi konflik. Ketika persoalan muncul, pertimbangan rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan. Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite yang akan mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.
Ketika pengelolaan konflik telah dipertimbangkan matang dengan melibatkan komunikasi antara elemen masyarakat sipil, politisi, pemerintahan, dan pelaku ekonomi, perhelatan pilkada akan berlangsung dengan damai dan dinamis tanpa mengorbankan stabilitas politik di daerah.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas yang paling sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi juga akan menimbulkan persepsi publik tentang kompetensi dan ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu harus memperhatikan hal berikut: Pertama, adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang, tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.
Kedua, Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.
Ketiga, Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut.
Keempat, Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil.
Kelima, Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu, Partai Politik, pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan bersama.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang dilakukan diatas menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan memang menjadi sebuah kebutuhan mendasar sebagai acuan dan regulasi penyelenggara pemilu (KPU) melakukan tugas-tugasnya untuk mengawal suara rakyat agar sesuai dengan tujuan pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Hal ini sangat diperlukan karena sebagai salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat. Tanpa organisasi penyelenggara pemilu yang independen, kredibel, Akuntabel dan profesional menjadi mustahil untuk mencapai cita-cita demokrasi mewujudkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya, tetapi malah memicu terjadinya konflik.